oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
=======================
“Rasa
cinta pasti ada pada makhluk yang bernyawa; Sejak lama sampai kini tetap suci
dan abadi; Takkan hilang selamanya sampai datang akhir masa; Perasaan
insan sama; ingin cinta dan dicinta;
Bukan ciptaan manusia; tapi takdir Yang Kuasa…”
Anda; saya dan kita semua tentu sudah banyak yang mengenal, bahkan hafal bait-bait kalimat di atas, yakni penggalan lagu “Renungkanlah”
yang dinyanyikan sendiri oleh penciptanya; “almarhum Mashabi” yang sejak awal 1960 hingga sekarang tetap
populer di tengah-tengah kehidupan kita. Dan tentu saja “curhat” yang terkandung
dalam lagu tersebut adalah sesuatu yang benar. Sebab secara tersirat dan
tersurat hal itu telah ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang di-ingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia,
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S.Ali ‘Imraan: 14)
Walaupun ada yang
memandangnya dengan “sinis” dan menganggapnya “negatif”, maka sesungguhnya “hakikat” cinta adalah sesuatu yang “positif”, karena cinta bisa menumbuhkan semangat kehidupan serta
kreatifitas pelaku cinta. Apalagi bagi orang dan kalangan tertentu yang
memandang cinta sebagai sesuatu yang suci dan tidak memaknai cinta dengan kata “harus
memiliki” sebagaimana yang dikatakan oleh As-Syaikh Abdullah Al-Ghazali:
“Hakikat cinta yang sesungguhnya bukanlah memiliki
apa yang dicintai; akan tetapi bagaimana selalu merasa bersama dan tetap ingin
bersama yang dicintai; dan selalu menghadirkan yang dicintai di dalam jiwa;
melaksanakan semua yang di-inginkan sang kekasih dan menolak semua yang dibenci
olehnya.”
Selanjutnya dengan mengutip apa yang ditulis oleh “Erich
Fomm” seorang psikolog Jerman dalam bukunya “The Art of Love”, maka cinta yang tulus dan benar itu sekurang-kurangnya harus memiliki empat (4) unsur sebagai “hakikat
kesejatian cinta”. Jika unsur cinta yang ada
kurang dari 4(empat) hal tersebut, maka cinta yang dimiliki oleh seseorang tidaklah
dapat disebut sebagai “cinta sejati”.
Yang pertama
adalah “knowledge” atau pengetahuan
tentang apa yang dicintanya.
Dalam
hal ini jika kita mecintai seseorang, maka kita harus mengenal betul apa dan
siapa yang kita cintai. Tujuannya adalah, agar tidak pernah merasa menyesal
dikemudian hari atas segala sesuatu
yang datang dari “ kekasih hati.” Baik berupa
permintaannya maupun penolakannya terhadap sesuatu. Dalam istilah agama (Tauhid)
keadaan ini disebutkan dengan istilah “awaluddin
ma’rifatullah” yang secara umum bermakna: “hal yang pertama sekali dalam
agama adalah mengenal Allah”.
Yang kedua adalah “care”. Yaitu tumbuhnya perhatian
kepada yang kita cintai. Sebab bagaimanapun juga seseorang haruslah memberikan
perhatian yang lebih kepada yang dicintainya, sehingga dengan perhatian yang
lebih tersebut akan lebih mudah baginya untuk menolong yang dicintainya dalam
berbagai hal. Dalam hal ini “care” kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad
SAW) adalah dengan cara memperhatikan dan memahami hal-hal apa saja yang diridhai dan yang dimurkai
oleh Allah dan Rasul-Nya, dengan tujuan untuk menumbuhkan semangat dan
keinginan melaksanakan apa-apa yang
telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya secara terus menerus (istiqomah)
sesuai aturan yang telah ditetapkan untuk itu.
Yang ketiga adalah “respect”. Yakni adanya rasa hormat kepada
yang dicintai. Artinya adalah, mencintai haruslah disertai dengan rasa hormat
kepada yang dicintai, sebab rasa hormat inilah yang akan menumbuhkan sifat
kehati-hatian dalam berbuat, agar tidak mengecewakan kekasih yang dicintai.
Yang ke-empat adalah
“responbility”; Yakni merespon apa yang dikatakan “sang
kekasih” untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab sebagai bukti cinta dan kasihnya pada
yang dicintai. Dan jika hal ini dikaitkan dengan “cinta kepada Allah dan
Rasul”; maka seseorang yang mengaku beriman
harus benar-benar melaksanakan apa yang diperintahkan sesuai dengan
kapasitas atau kemampuan yang ia miliki dengan prinsip “lillaahi
ta’ala” dengan pengertian; apa
yang dilakukan adalah semata-mata karena cinta dan tidak berharap pada pamrih-NYA.
Mudah-mudahan
catatan singkat ini membuka wawasan kita dan akan memberikan pemahaman yang
lebih baik agar cinta kita kepada Allah dan Rasul-NYA benar-benar merupakan
cinta yang utuh dan sejati; tidak berbagi sebagaimana yang tersirat dan tersurat
dalam firman-NYA:
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S.
At-Taubah: 24) Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
14 Rabi’ul Akhir 1433 H
/ 8
Maret 2012
KH. BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment