oleh: KH.BACHTIAR
AHMAD
========================
TENTANG PULAU TUAN SYEH.
Sa’at ini pulau yang terletak di tengah (muara)
Sungai Rokan (Riau) itu disebut sebagai “Pulau Pedamaran” yang tumbuh dan
menjadi besar dari sebuah “pulau kecil” yang dulunya disebut orang sebagai
“Pulau Tuan Syeh”.
Disebut sebagai “Pulau Pedamaran”, konon pada masa
lampau banyak orang yang mencari/mengambil “getah” dari pohon “damar” yang
tumbuh di pulau tersebut. Sementara disebut “Pulau Tuan Syeh” karena dulunya
ketika masih merupakan pulau kecil, ada seseorang yang disebut sebagai “Tuan
Syeh/Syaikh” membuat “kolam ikan”, dan sekaligus menjadikan pulau tersebut
sebagai tempat memelihara dan menjinakkan “buaya” sungai Rokan yang terkenal
ganas, agar tidak mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar perairan sungai
Rokan. Sehingga pada akhirnya selain pulau itu sendiri disebut sebagai “pulau
Tuan Syeh”, maka “buaya-buaya” yang ada di sekitar pulau tersebut disebut juga
sebagai “buaya tuan syeh”.
Pada awalnya pulau “Pedamaran” atau pulau “Tuan
Syeh” tersebut adalah sebuah “delta atau pulau kecil ” yang terletak di antara desa “Suak Air Hitam dan
Sungai Sialang”. Kemudian lantaran terjadinya reklamasi alamiah,
pulau tersebut semakin membesar dan memanjang ke arah muara sungai Rokan
sebagaimana yang kita jumpai sekarang ini.
SIAPA TUAN SYEH (SYAIKH) YANG SEBENARNYA.
Banyak orang yang menduga, bahwa yang disebut
sebagai “Tuan Syeh” tersebut adalah “almarhum Tuan Syaikh Zainuddin” salah seorang ulama yang banyak memiliki
“karomah” di masa hidupnya, yang berasal dari Tanah Putih (Tanjung
Melawan), yang secara geografis memang terletak di Sungai Rokan. Dan konon
ketika masih bolak-balik berlayar dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi, pulau
kecil itulah tempat persinggahan beliau. Dan dalam masa-masa persinggahan
itulah beliau memelihara ikan (membuat kolam ikan) dan juga memelihara beberapa
ekor buaya untuk menjaga kolam yang dibuatnya.
Akan tetapi ketika saya belajar kepada “Syaikh
Maulana Ubaidillah Sholihin”, dan karena keingin tahuan yang besar, saya
meminta beliau menelusuri dan mencari tahu siapa “Tuan Syeh” tersebut dengan
jalan “barzakh” melalui “dzikrullah”,
maka beliau menyebutkan bahwa yang disebut sebagai “Tuan Syeh” tersebut bukanlah
“Syaikh Zainuddin”, akan tetapi seorang ulama yang beliau sebut bernama/bergelar
“Syaikh Marhum Koto Tujuh”.
SIAPA “SYAIKH MARHUM KOTO TUJUH.”
Menurut keterangan guru saya, “Syaikh Marhum Koto
Tujuh” adalah ulama yang berasal dari “Kerajaan Siak” yang telah mendapat restu
Sultan Syarif Hasyim (ayah Sultan Syarif Kasim II) untuk berdakwah mensyiarkan
Islam di (bagian hilir) Sungai Rokan.
Pada awalnya beliau adalah salah seorang
“pengasuh/guru mengaji” dari Sultan Syarif Kasim II (lahir tahun 1893) ketika
masih kanak-kanak. Lalu ketika Sultan Syarif Kasim II beranjak dewasa dan
berangkat belajar ke Makkah, Syaikh Marhum Koto Tujuh mohon izin kepada
Sultan Syarif Hasyim untuk berdakwah / mensyiarkan Islam di (wilayah hilir)
Sungai Rokan, yang konon ketika itu
banyak penduduknya yang masih mencampur adukkan ajaran Islam dengan paham
“animisme”.
Diperkirakan di seputar tahun 1905-1907; Setelah
mendapat izin dan restu dari Sultan Syarif Hasyim, maka bersama isteri
dan ketiga anaknya (2 perempuan dan 1 laki-laki), Syaikh Marhum Koto Tujuh
berangkat ke Sungai Rokan dan memilih untuk menetap di “Suak Air Hitam”, yang
konon pada masa itu adalah sebuah “Bandar” atau “Pelabuhan” yang cukup ramai
dan tempat penimbunan hasil hutan yang akan dibawa/dijual oleh para pedagang;
baik ke Bagansiapiapi maupun ke daerah lainnya.
Syaikh Marhum Koto Tujuh tinggal dan menetap di
Suak Air Hitam kurang lebih 3-5 tahun, dan pada masa-masa itulah beliau membuat
kolam ikan dan menjinakkan buaya sungai Rokan di pulau kecil yang terletak di
tengah-tengah sungai Rokan antara Suak Air Hitam dan Sungai Sialang tersebut,
yang pada akhirnya pulau tersebut disebut sebagai “Pulau Tuan Syeh” dan
buaya-buaya yang beliau jinakkan disebut-sebut sebagai “buaya Tuan Syeh”. Sebab
buaya-buaya tersebut dengan “izin Allah” menjadi jinak di tangan beliau.
Setelah beberapa tahun di Suak Air Hitam dan karena
anak-anak perempuannya sudah menikah, Syaikh Marhum Koto Tujuh meyeberang dan
pindah ke Sungai Sialang dan wafat serta dimakamkan disana (Sungai Sialang)
Tahun 1997 saya pernah menelusuri jejak sejarah
Syaikh Marhum Koto Tujuh di Sungai Sialang, dan oleh salah seorang “orang tua”
yang saya temukan (beliau sudah meninggal dunia), saya ditunjukkan bekas tapak
rumahnya dan juga sebuah sumur yang masih bersih airnya. Dan riwayat tentang “Syaikh Marhum Koto Tujuh”
ini sempat pula saya ceritakan kepada beberapa orang teman di Bagansiapiapi, di
antara mereka mengaku pernah mendengar riwayat ini dari beberapa orang tua di
kampungnya. Mereka merasa bahwa riwayat itu ada benarnya, walaupun tak bisa
membuktikan kebenarannya.
Mudah-mudahan informasi ini bisa dimanfaatkan dalam
menelusuri “jejak sejarah” yang ada di seputar wilayah sungai Rokan, mengingat
begitu banyaknya “catatan” sejarahnya yang tidak pernah dicatat dan tercatat;
sementara jika adapun “situs-situs” berharga dari sejarah masa lampau banyak
dirusak oleh masyarakat; bahkan tak sedikit pula situs sejarah (khususnya yang
di Bagansiapiapi) yang sengaja dihancurkan/dihilangkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Rokan Hilir dengan alasan “pembangunan” yang lebih modern.
Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 27 Rabi’ul Akhir 1433 H / 21
Maret 2012.
KH.BACHTIAR AHMAD
Apakah sejarah ini betul akurat? Dan bolehkah di copy? Trmks. Wassalam.
ReplyDeleteAssalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu...saya rizky, sebelumnya saya ingin bertanya kpd tuan...bolehkah saya mendapatkan nomer gsm atau apapun yang memudahkan saya untuk bertemu tuan dengan seizin Allah SWT...
ReplyDelete