Thursday 22 March 2012

PULAU “TUAN SYEH”: Di antara sejarah dan legenda


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
 TENTANG PULAU TUAN SYEH.
Sa’at ini pulau yang terletak di tengah (muara) Sungai Rokan (Riau) itu disebut sebagai “Pulau Pedamaran” yang tumbuh dan menjadi besar dari sebuah “pulau kecil” yang dulunya disebut orang sebagai “Pulau Tuan Syeh”.

Disebut sebagai “Pulau Pedamaran”, konon pada masa lampau banyak orang yang mencari/mengambil “getah” dari pohon “damar” yang tumbuh di pulau tersebut. Sementara disebut “Pulau Tuan Syeh” karena dulunya ketika masih merupakan pulau kecil, ada seseorang yang disebut sebagai “Tuan Syeh/Syaikh” membuat “kolam ikan”, dan sekaligus menjadikan pulau tersebut sebagai tempat memelihara dan menjinakkan “buaya” sungai Rokan yang terkenal ganas, agar tidak mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar perairan sungai Rokan. Sehingga pada akhirnya selain pulau itu sendiri disebut sebagai “pulau Tuan Syeh”, maka “buaya-buaya” yang ada di sekitar pulau tersebut disebut juga sebagai “buaya tuan syeh”.

Pada awalnya pulau “Pedamaran” atau pulau “Tuan Syeh” tersebut adalah sebuah “delta atau pulau kecil ” yang  terletak di antara desa “Suak Air Hitam dan Sungai Sialang”. Kemudian lantaran terjadinya reklamasi  alamiah, pulau  tersebut semakin membesar dan memanjang ke arah muara sungai Rokan sebagaimana yang kita jumpai sekarang ini.


SIAPA TUAN SYEH (SYAIKH) YANG SEBENARNYA.
Banyak orang yang menduga, bahwa yang disebut sebagai “Tuan Syeh” tersebut adalah “almarhum Tuan Syaikh Zainuddin”  salah seorang ulama yang banyak memiliki “karomah” di masa hidupnya,  yang berasal dari Tanah Putih (Tanjung Melawan), yang secara geografis memang terletak di Sungai Rokan. Dan konon ketika masih bolak-balik berlayar dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi, pulau kecil itulah tempat persinggahan beliau. Dan dalam masa-masa persinggahan itulah beliau memelihara ikan (membuat kolam ikan) dan juga memelihara beberapa ekor buaya untuk menjaga kolam yang dibuatnya.

Akan tetapi ketika saya belajar kepada “Syaikh Maulana Ubaidillah Sholihin”, dan karena keingin tahuan yang besar, saya meminta beliau menelusuri dan mencari tahu siapa “Tuan Syeh” tersebut dengan jalan “barzakh” melalui “dzikrullah”,  maka beliau menyebutkan bahwa yang disebut sebagai “Tuan Syeh” tersebut bukanlah “Syaikh Zainuddin”, akan tetapi seorang ulama yang beliau sebut bernama/bergelar “Syaikh Marhum Koto Tujuh”.

SIAPA “SYAIKH MARHUM KOTO TUJUH.”
Menurut keterangan guru saya, “Syaikh Marhum Koto Tujuh” adalah ulama yang berasal dari “Kerajaan Siak” yang telah mendapat restu Sultan Syarif Hasyim (ayah Sultan Syarif Kasim II) untuk berdakwah mensyiarkan Islam di (bagian hilir) Sungai Rokan.

Pada awalnya beliau adalah salah seorang “pengasuh/guru mengaji” dari Sultan Syarif Kasim II (lahir tahun 1893) ketika masih kanak-kanak. Lalu ketika Sultan Syarif Kasim II beranjak dewasa dan berangkat belajar ke Makkah,   Syaikh Marhum Koto Tujuh mohon izin kepada Sultan Syarif Hasyim untuk berdakwah / mensyiarkan Islam di (wilayah hilir) Sungai Rokan, yang konon ketika itu    banyak penduduknya yang masih mencampur adukkan ajaran Islam dengan paham “animisme”.


Diperkirakan di seputar tahun 1905-1907; Setelah mendapat izin dan restu dari  Sultan Syarif Hasyim, maka bersama isteri dan ketiga anaknya (2 perempuan dan 1 laki-laki), Syaikh Marhum Koto Tujuh berangkat ke Sungai Rokan dan memilih untuk menetap di “Suak Air Hitam”, yang konon pada masa itu adalah sebuah “Bandar” atau “Pelabuhan” yang cukup ramai dan tempat penimbunan hasil hutan yang akan dibawa/dijual oleh para pedagang; baik ke Bagansiapiapi maupun ke daerah lainnya.

Syaikh Marhum Koto Tujuh tinggal dan menetap di Suak Air Hitam kurang lebih 3-5 tahun, dan pada masa-masa itulah beliau membuat kolam ikan dan menjinakkan buaya sungai Rokan di pulau kecil yang terletak di tengah-tengah sungai Rokan antara Suak Air Hitam dan Sungai Sialang tersebut, yang pada akhirnya pulau tersebut disebut sebagai “Pulau Tuan Syeh” dan buaya-buaya yang beliau jinakkan disebut-sebut sebagai “buaya Tuan Syeh”. Sebab buaya-buaya tersebut dengan “izin Allah” menjadi jinak di tangan beliau.

Setelah beberapa tahun di Suak Air Hitam dan karena anak-anak perempuannya sudah menikah, Syaikh Marhum Koto Tujuh meyeberang dan pindah ke Sungai Sialang dan wafat serta dimakamkan disana (Sungai Sialang)

Tahun 1997 saya pernah menelusuri jejak sejarah Syaikh Marhum Koto Tujuh di Sungai Sialang, dan oleh salah seorang “orang tua” yang saya temukan (beliau sudah meninggal dunia), saya ditunjukkan bekas tapak rumahnya  dan juga sebuah sumur yang masih bersih airnya. Dan  riwayat tentang “Syaikh Marhum Koto Tujuh” ini sempat pula saya ceritakan kepada beberapa orang teman di Bagansiapiapi, di antara mereka mengaku pernah mendengar riwayat ini dari beberapa orang tua di kampungnya. Mereka merasa bahwa riwayat itu ada benarnya, walaupun tak bisa membuktikan kebenarannya.

Mudah-mudahan informasi ini bisa dimanfaatkan dalam menelusuri “jejak sejarah” yang ada di seputar wilayah sungai Rokan, mengingat begitu banyaknya “catatan” sejarahnya yang tidak pernah dicatat dan tercatat; sementara jika adapun “situs-situs” berharga dari sejarah masa lampau banyak dirusak oleh masyarakat; bahkan tak sedikit pula situs sejarah (khususnya yang di Bagansiapiapi) yang sengaja dihancurkan/dihilangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir dengan alasan “pembangunan” yang lebih modern. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 27 Rabi’ul Akhir 1433 H / 21  Maret  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

2 comments:

  1. Apakah sejarah ini betul akurat? Dan bolehkah di copy? Trmks. Wassalam.

    ReplyDelete
  2. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu...saya rizky, sebelumnya saya ingin bertanya kpd tuan...bolehkah saya mendapatkan nomer gsm atau apapun yang memudahkan saya untuk bertemu tuan dengan seizin Allah SWT...

    ReplyDelete

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.