Friday 15 June 2012

ISRA’ MI’RAJ: Memantapkan Aqidah / Tauhid (Bag. Pertama)

 oleh: KH. BACHTIAR AHMAD
=======================

Rajab identik sekali dengan (peringatan) Isra’ Mi’raj-nya Nabi Besar Muhammad SAW. Dan biasanya yang paling banyak menjadi bahan ceramah para muballig adalah masalah sholat. Hal ini tentu tak bisa disalahkan, sebab berdasarkan sejarahnya; maka dalam peristiwa (Isra’) Mi’raj itulah Rasulullah SAW menerima perintah sholat untuk diteruskan kepada dan dilaksanakan oleh umat beliau.

Akan tetapi dengan mencermati keadaan yang ada, khususnya situasi dan kondisi yang ada sekarang ini, maka alangkah baiknya jika kita membicarakan; mengambil hikmah dan  pelajaran tentang pemantapan aqidah/ tauhid dari peristiwa Isra’dan Mi’raj tersebut. Tidak hanya dari beberapa catatan yang ada, tapi bisa digali dari perintah sholat itu sendiri. Jadi tidak hanya seputar masalah sejarah; hukum dan beberapa keutamaan sholat sebagaimana yang sudah sering kita dengar.

Tengok dan simaklah keadaan kita saat ini; keadaan sebahagian besar kaum Muslimin, khususnya di negeri yang kita cintai ini. Banyak di antara kita yang sudah ta’at mendirikan  sholat; sudah menunaikan haji (bahkan beberapa kali, belum lagi khusus umrohnya); membayar zakat; bersedekah serta mengamalkan berbagai amaliah lahiriah lainnya. Akan tetapi sebenarnya, sadar atau tidak sadar,  banyak   yang   terjerembab dan terperangkap dalam “kemusyrikan” lantaran aqidah atau tauhid yang dimiliki sudahterkontaminasdi atau bercampur dengan “sesuatu”. Sedangkan hakikatnya adalah, bahwa Allah SWT tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu.

Tidak sedikit pula yang beranggapan, bahwa dengan melakukan amaliah lahiriah yang diperintahkan itu dengan sebaik-baiknya; merasa sudah jadi orang yang beriman dan bertakwa dan akan mudah masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah SWT. Padahal amaliah lahiriah seperti  sholat; haji; zakat; shodaqoh  dan atau perintah ibadah lainnya itu hanyalah merupakan sarana dan prasarana yang mengantarkan seseorang ke  pintu surga; sedangkan kunci utamanya adalah aqidah atau tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimanakah caranya kita akan masuk ke dalam surganya Allah, jika kuncinya salah. Dan inilah yang sebenarnya yang menjadi inti dari apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis beliau:

“Barangsiapa yang ucapan terakhirnya (disaat kematiannya) adalah Laa ilaha illallaah, maka dia akan masuk surga.” (HR.Thabrani)

Dan ini jugalah yang sebenarnya menjadi makna (tafsiran) inti dari firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Artinya; hendaklah kamu mati dalam keadaan bertauhid; bukan hanya sekadar mati sebagai orang Islam.

Kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Tauhid adalah pintu pertama untuk masuk Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia.” 

Bahkan dalam kaidah agama ada dikatakan: “Yang pertama kali dalam agama adalah “ma’rifatullah (bertauhid kepada Allah)”

Lalu apa kaitannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Rasulullah SAW dengan pemantapan Tauhid? Baik bagi beliau sendiri, lebih-lebih lagi bagi ummat beliau (kaum muslimin).

Bagi Muhammad SAW sendiri sebenarnya tak ada masalah, sebab ada atau tidaknya peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang beliau alami, sebagai hamba yang dipilih dan terpilih, maka beliau memang sudah dijadikan Allah sebagai hamba yang memiliki Tauhid yang sempurna. Sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidak perlu diuji keyakinannya pada Maha Esa dan Maha Kuasanya Allah dalam segala hal; sekalipun beliau tidak pernah bertemu dengan Allah; menyaksikan kebenaran adanya surga dan neraka dan hal-hal ghaib lainnya, yang sebelumnya tidak pernah beliau lihat dengan mata kepala; kecuali hanya mendengar dan mengetahuinya melalui wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.

Oleh sebab itulah banyak disebutkan dalam berbagai kisah, bahwa  Isra’ dan Mi’rajnya beliau hanyalah sebagai hadiah atas keta’atan beliau kepada Allah dan sekaligus sebagai obat kesedihan atas wafatnya isteri beliau Khadijah al-Kubro dan Abu Thalib, paman tercinta yang selama ini  telah mengasuh dan banyak membela dakwah yang beliau sampaikan dari serangan dan gangguan orang-orang kafir Quraisy.

Akan tetapi di sisi lain tentu saja apa yang beliau lihat dan yang diperlihatkan Allah SWT dalam peristiwa tersebut, seperti keadaan surga dan segala macam kenikmatannya; neraka dan segala macam siksaannya; serta hal-hal ghaib lainnya, tentulah akan memberikan nilai tambah bagi dakwah yang beliau sampaikan kepada umat manusia; khususnya para sahabat dan orang-orang beriman yang mengikuti beliau.
Jadi dengan demikian jelaslah, bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj tersebut adalah lebih ditujukan dan dimaksudkan sebagai ujian keimanan dan keyakinan para sahabat dan  orang-orang yang telah menyatakan dirinya sebagai  umat beliau.

Akan tetapi sangatlah disayangkan, seiring dengan perjalanan waktu, nilai-nilai aqidah ataupun tauhid  yang dimiliki umat Muhammad SAW, kian hari kian tergerus dan terkikis oleh kemajuan zaman dan kepentingan mereka terhadap dunia. Sehingga pada akhirnya, aqidah atau tauhid yang dimiliki umat ini (kaum muslimin), hanyalah sebatas wacana harian belaka; hanya menjadi tutur pembicaraan sehari-hari yang sangat untuk diaplikasikan dalam gerak kehidupan; bahkan ibadah sekalipun. Lantaran acapkali ibadah yang dilakukan juga punya latar belakang atau motivasi tertentu; tidak lagi “lillahi ta’ala” sebagaimana yang dikehendaki; yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:

“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyaat: 56)

Bahkan sebagaimana juga yang acapkali kita ikrarkan:

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.Al-An’aam: 162)

Dulu: ketika Rasulullah SAW menerangkan tentang azab kubur dan siksa neraka; banyakl para sahabat yang gemetar; menangis ketakutan; seakan-akan mereka sudah merasakan azab itu sebelumnya. 
Sekarang: ketika hal yang sama disampaikan kepada umat (Islam), mereka acuh tak acuh; bahkan ada yang menjadikannya sebagai bahan tertawaan dan guyonan.

Dulu: Ketika Rasulullah SAW meminta para sahabat menginfakkan harta benda mereka untuk fi sabilillah, maka mereka berlomba-lomba bersaing untuk menyerahkan harta sebanyak-banyaknya  bagi kepentingan agama Allah dan sekaligus amal ibadah mereka.
Sekarang: Untuk berinfaq di Masjid saja; hanya sekali dalam seminggu setiap hari Jum’at; banyak yang hitung-hitungan, takut kebanyakan memberi. Sebaliknya yang ada berlomba-lomba mengumpulkan harta untuk alasan-alasan tertentu; sekalipun harus dengan cara-cara yang tidak dihalalkan Allah dan Rasul-Nya.

Dulu: Ketika Rasulullah SAW bercerita tentang akan adanya pembalasan Allah SWT untuk sekecil apapun kejahatan yang dilakukan oleh manusia, maka banyak sahabat yang jatuh pingsan, bahkan ada di antaranya yang ingin segera mati saja, takut-takut kalau panjang umur, makin banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat; Entah sengaja atau tidak.
Sekarang: Hal itu dianggap biasa-biasa saja, bahkan mereka lebih takut pada KPK; Jaksa; Polisi dan atau para penegak hukum lainnya, lantaran kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan; soal Tuhan (Allah) adalah soal nanti, yang penting bagaimana sekarang ini bisa menikmati hidup.

Padahal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dalam soal ibadah adakalanya mereka berlomba-lomba untuk ta’at dalam menunjukkan betapa keimanan dan ketakwaan yang mereka miliki.
Oleh karenanya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj tahun ini, mari kita kembali sejenak mengukur kadar dan nilai serta memantapkan kembali aqidah / tauhid kita kepada Allah SWT, agar amal ibadah yang kita lakukan tidak sia-sia. Jangan lagi kita asyik membicarakan masalah-masalah ibadah lahiriah (tentunya juga tak bisa diabaikan begitu saja), sementara ruh ibadah itu sendiri (yakni tauhid) tak pernah kita upayakan untuk meningkatkannya. (Insya Allah akan disambung)  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 20 Rajab 1432 H / 22 Juni 2011
KH. BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.