Saturday 16 June 2012

ISRA’ MI’RAJ: Memantapkan Aqidah/Tauhid (Bag. Kedua)


Oleh: KH Bachtiar Ahmad
=====================

BELAJAR DARI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a  (1)
Sejarah mencatat,  bahwa beberapa tahun setelah Muhammad SAW dilantik sebagai Nabi dan Rasul Allah, sampai dengan diterimanya perintah sholat sa’at beliau (Isra’ dan) Mi’raj ke hadapan Allah SWT, tidak ada perintah tentang kewajiban amaliah lahiriah yang beliau terima dari Allah SWT untuk disampaikan kepada orang-orang yang beriman. Selama masa itu inti dari dakwah yang diserukan Muhammad SAW adalah; “Laa ilaha illallaah”; yakni menyeru dan mengajak orang untuk beriman dan hanya menyembah kepada Allah; satu-satunya Tuhan dan Pemilik alam semesta ini.
Dan dalam masa-masa yang cukup panjang ini, Muhammad SAW benar-benar diuji Allah; sebab yang hanya ada beberapa gelintir manusia yang benar-benar beriman dan meyakini apa yang beliau sampaikan. Selebihnya beranggapan, bahwa Muhammad SAW adalah orang yang sakit; gila; meracau tak tentu arah. Masa orang disuruh percaya kepada sesuatu yang tak nampak; yang tak pernah dilihat dan yang didengar suaranya. Tentang hal ini Al-Quran menjelaskan:

“Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al-Quran kepadanya, Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. Mengapa kamu tidak mendatangkan Malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar?" (QS. Al-Hijr: 6-7)

Dan keadaan ini benar-benar memuncak tatkala menyampaikan peristiwa Isra’ Mi’raj yang beliau alami; bahkan ada orang-orang yang tadinya sudah beriman kembali menjadi murtad, lantaran beranggapan bahwa Muhammad SAW selama ini memang gila dan makin menjadi-jadi gilanya dengan cerita yang tak masuk akal itu; Yakni cerita tentang perjalanan malam hari yang dilakoni Muhammad SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, lalu naik ke langit yang tinggi untuk berjumpa dengan Tuhan-nya dan kembali lagi ke Makkah sebelum waktu subuh, yang hanya terjadi dalam bilangan beberapa jam saja.

Walau demikian, banyak sahabat yang tetap konsisten dengan keyakinan yang mereka miliki sejak menjadi umat Muhammad SAW; Bahkan Tauhid yang mereka miliki semakin kuat dan mantap dengan perilaku yang mereka tampakkan dalam kehidupan mereka dimasa-masa  berikutnya. Dan salah satunya adalah Abdullah bin Abu Quhafah yang lebih popular dengan nama Abu Bakar r.a.

Tatkala disampaikan kepadanya bahwa Muhammad SAW sudah menjadi gila dan tengah sibuk di masjid menceritakan perihal  Isra’ dan Mi’rajnya kepada orang ramai; Abu Bakar berujar: “Kalian dusta, Muhammad tidak gila. Dan kalau itupun yang dikatakannya, maka tentulah ia mengatakan yang sebenarnya. Sebab ketika dia mengatakan kepadaku, bahwa nyaris setiap saat ia menerima berita dari Tuhan; dari langit ke bumi; baik siang maupun malam; aku sudah mempercayainya. Maka tentulah hal semacam itu (Isra’ Mi’raj) tak lagi perlu aku herankan.”  

Lalu Abu Bakar bersegera menjumpai sahabatnya; Muhammad SAW; yang saat itu tengah memberikan gambaran tentang keadaan Baitul Maqdis. Dan lantaran Abu Bakar sudah pernah berkunjung dan melihat sendiri Baitul Maqdis, iapun berkata kepada Muhammad SAW: “Rasulullah, saya percaya pada apa yang engkau ceritakan dan yang telah engkau alami.” Dan sejak itulah Rasulullah SAW menyebut dan memanggil Abu Bakar dengan julukan “Ash-Shiddiq” sehingga sampai pada masa kita sekarang ini.

Bukan itu saja, sejak awalpun Abu Bakar sudah yakin seyakin-yakinnya pada agama Tauhid yang didakwahkan Muhammad SAW kepadanya. Abu Bakar menerima ajakan sahabatnya, Muhammad SAW, untuk masuk Islam dan mengikrarkan Laa ilaha ilallah wa Muhammadur-rosullah tanpa ragu dan adanya pertimbangan apapun; walau hanya sedikit. Dan hal ini secara tegas dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabda beliau:

“Tak seorangpun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu; kecuali Abu Bakar bin Abu Quhafah. Ia sedikitpun tidak menunggu-nunggu dan ragu ketika kusampaikan (Islam) kepadanya.” (HR. Ahmad; At-Tirmidzi r.a)

Sementara kita saat ini yang sudah mengaku Islam dan beriman, adakalanya masih ragu menerima sesuatu kenyataan yang sudah pasti ada dan terjadinya, yang menjadi bagian dari Qudrat dan Irodat-nya Allah SWT. Keteguhan dan kokohnya nilai-nilai tauhid yang dimiliki Abu Bakar As-Shiddiq r.a juga dapat kita simak dan teladani dalam beberapa  peristiwa lainnya.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar sedang berada di Sunh, sebuah kampung di pinggiran kota Madinah di tempat salah seorang isterinya; tanpa ada tanya itu dan ini, setelah mendapat kabar tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar  segera berangkat ke rumah Rasulullah SAW. Padahal waktu sholat shubuh di Masjid (Nabawi) Abu Bakar masih bertemu dengan Rasulullah SAW dan juga menjadi imam sholat atas perintah Rasulullah SAW.

Abu Bakar sedikitpun tidak terkejut dengan berita wafatnya Rasulullah SAW, sebab bagaimanapun juga hal itu adalah bagian dari kekuasaan dan kehendak Allah SWT sebagaimana yang ditegaskan Allah di dalam Kitab-Nya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya); dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Dengan langkah tegar Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah (puterinya dan juga isteri Rasulullah SAW), Abu Bakar membuka penutup wajah jenazah Rasulullah SAW, dan setelah mencium wajah sahabatnya; menantunya dan Rasul Allah yang paling dimuliakan oleh seisi alam semesta ini, Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, alangkah sedapnya (harumnya) sewaktu engkau hidup; dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat.”

Setelah itu Abu Bakar keluar menemui kaum muslimin yang sedang berkerumun melihat Umar bin Khattab  yang sedang berpidato, yang mengatakan Rasulullah tidaklah wafat, melainkan hanya sejenak pergi bertemu Allah sebagaimana halnya Musa a.s pergi ke Bukit Thursina menerima wahyu dari Allah dan kembali lagi setelah 40 hari kemudian. Dalam keadaan Umar dan kaum muslimin yang demikian itu, Abu Bakar berseru kepada mereka semua:

“Saudara-saudara, barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sekarang Muhammad sudah meninggal dunia. Akan tetapi barangsiapa yang meyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan pernah mati.” Lalu Abu Bakar membacakan firman Allah SWT:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia (Muhammad) wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran: 144)

Demi mendengar suara lantang Abu Bakar tersebut semua orang terdiam; Umar yang tadi kokoh dan bicara penuh semangat menjadi lunglai, rubuh dan pingsan beberapa saat setelah benar-benar sadar bahwa Rasulullah SAW memang telah berpulang ke rahmatullah.

Lihat dan simaklah oleh kita, betapa tingginya nilai aqidah; nilai tauhid; nilai keyakinan Abu Bakar terhadap kuasa dan kehendak Allah SWT. Padahal Muhammad SAW adalah orang yang paling-paling beliau sayangi dan cintai melebihi kedua ibu bapaknya. Lalu bagaimana dengan kita, jika mengalami hal semacam itu.

Jika kita dihadapkan pada situasi semacam itu, maka tentulah sesaat kita menjadi Umar bin Khattab, seakan tak percaya pada qudrat dan iradatnya Allah SWT. Alih-alih atau bukannya kita segera mengucapkan istirja (innaa lillahi wa innaa ilahi roji’un), malah yang ada kita guyon dengan orang menyampaikan kabar kematian sahabat atau teman dekat kita tersebut. Terlebih-lebih lagi jika teman kita yang meninggal dunia tersebut tidak dalam keadaan sakit, bahkan mungkin beberapa jam sebelumnya masih sempat ngobrol dan minum kopi bersama. Dan bisa saja  kalimat pertama yang terlontar dari mulut kita adalah semacam penafian atas kehendak Allah SWT: “Ah masa iya, baru beberapa jam tadi kami  sama-sama berjama’ah di Masjid. Bahkan kami sempat ngopi bareng sebelum pisah ke rumah masing-masing.”

Kisah lain yang tak kalah menariknya yang dapat kita pelajari dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a, tentang nilai-nilai aqidah / tauhid adalah dalam masalah…. (insya Allah akan dilanjutkan kemudian). Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 26 Rajab 1432 H / 28 Juni 2011
KH BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.