Friday 22 June 2012

NASIHAT FUDHAIL BIN IYADH


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Usai  menunaikan ibadah haji,  Khalifah  Harun  Al-Rasyid didampingi salah seorang penasihatnya Al-Fadhal bin Rabi’ berkunjung kepada “syaikhul Islam”  Al-Fudhail bin Iyadh (semoga Allah merahmati beliau) untuk meminta nasihat.  Selanjutnya Al-Fadhal menuturkan sebagai berikut:

“Kami datang kepada Fudhail dan ketika itu beliau sedang membaca ayat-ayat suci Al-Quran di kamar atas kediamannya. Dan setelah kami menyampaikan salam dan diperkenankannya masuk, maka Fudhail turun ke lantai bawah dimana kami sedang menunggu. Akan tetapi ia berdiri di salah satu sudut dan langsung mematikan lampu yang ada di tangannya. Dan dalam keadaan samar-samar  itulah Harun masuk dan berjalan meraba-raba mencari Al Fudhail, dan apabila Harun berhasil berjabatan dengannya, maka seketika kudengar Fudhail berkata:  “Aduhai, tak pernah kurasakan kulit  tangan yang sehalus ini. Dan alangkah bahagianya jika tangan yang semacam ini selamat dari api neraka.”  

Beberapa sa’at kemudian kudengar Harun terisak-isak menangis, dan setelah agak reda dan bisa menguasai dirinya ia berkata kepada Al-Fudhail: “Wahai Fudhail, berilah aku nasihat.”  

Maka berkatalah Al-Fudhail: “Wahai orang yang dipanggil dengan sebutan amirul mukminin, sesungguhnya pada masa dahulu, datukmu Abbas bin AbdulMuthalib; paman dari Rasulullah SAW pernah meminta agar diberi jabatan dan kekuasaan kepada kemenakannya yang dimuliakan Allah tersebut. Dan Rasulullah pun berkata: “Wahai pamanku, aku akan memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri, yaitu pada masa keta’atanmu kepada Allah. Masa itu jauh lebih baik dari masa seribu tahun keta’atan orang kepada dirimu. Karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan pada hari Kiamat.”

Sesa’at aku menikmati keheningan dan kudengar Harun berkata lagi: “Teruskanlah nasihatmu, wahai hamba Allah yang kuhormati.”

Maka akupun mendengar Fudhail bicara lagi: “beberapa sa’at setelah diangkat dan dilantik sebagai khalifah dan amirul Mukminin, maka Umar bin Abdul ‘Aziz   (memerintah  pada tahun  99 H / 717 M- 101 H / 720 M) maka diapun memanggil sahabat-sahabatnya Salimbin Abdullah; Raja’ bin Hayadh dan Muhammad bin Ka’ab al-Kurazi; kepada mereka Umar berkata: “Kekhalifahan atau jabatan ini adalah suatu kesulitan, lalu apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini.”  Maka salah satu dari ketiga orang tersebut berkata: “Jika kelak engkau hendak selamat dari hukuman Tuhan ketika engkau memegang kekuasaan, maka pandanglah orang muslim yang lebih tua sebagai orang tuamu; yang  muda sebagai saudaramu dan anak-anak mereka sebagai anak-anakmu juga. Jadikanlah seluruh kawasan yang engkau  perintah   sebagai  rumahmu   dan  seluruh   penduduknya  sebagai   ahli keluargamu.   Kunjungi orang  tuamu;   sayangi saudaramu  dan  kasihilah anak- anakmu. Berikanlah hak mereka sesuai dengan bagian mereka tanpa kau kurangi dan lebihkan antara satu dengan yang lain.”  

Kemudian setelah agak hening sejenak,maka kudengar lagi Fudhail berkata: “Wahai amirul mukminin, aku khawatir wajahmu yang tampan akan membawamu ke dalam api neraka. Karenanya bertakwalah kepada Allah dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu jauh lebih baik dari pada hari yang lalu dan hari ini.”  

Beberapa sa’at   kemudian kudengar Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail: “Apakah engkau mempunyai hutang wahai Fudhail.”  Maka dengan spontan Fudhailmenjawab: “Ya,hutangku kepada Allah sangatlah banyak dan berhingga, maka celakalah aku jika tak mampu melunasinya. Oleh sebab itu setiap kali ia memanggilku untuk membayar hutang-hutangku, aku berupaya untuk membayarnya dengan sebaik mungkin dan sebatas mampuku.”

Lalu kudengar sang khalifah menyela: “Bukan itu yang kumaksudkan wahai saudaraku, tapi hutang kepada sesama manusialah yang kumaksudkan.”  Al-Fudhail menjawab: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah; Dia telah menolongku dengan segala kemurahan-Nya, sehingga aku tak punya alasan untuk mengadukan dan mengeluhkan kesulitan hidupku kepada sesama makhluk dan hamba-hamba-Nya.”

Selanjutnya kudengar Harun Al-Rasyid ingin memberikan uamg sejumlah seribu dinar kepada Al-Fudhail, lalu Al-Fudhail berkata dengan nada agak marah: “Wahai Amirul Mukminin, ternyata nasihatku tidak membawa kebaikan bagi dirimu. Kau ingin menjerumuskan aku ke dalamneraka dengan menerima pemberianmu, padahal engkau sendiri tidak tahu apakah uang itu benar-benar menjadi hak milikmu atau masih bercampur dengan hak orang lain. Disini engkau nampak berlaku tidak adil kepadaku. Kau ingin selamat dan meminta nasihatku; Tapi disisi yang lain kau berusaha membayarku dengan sesuatu yang belum jelas halal dan haramnya.”

Mendengar itu Harun Al-Rasyid meminta ma’af kepada Al-Fudhail dan kemudian kamipun keluar dari kediaman sang sufi.  Wallahua’lam.         

(dinukil dan diedit kembali dari KISAH-KISAH SUFISTIK)

Jakarta,  02  Sya’ban  1433 H /  22 Juni  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

1 comment:

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.