Friday 29 June 2012

NIKAH OH NIKAH…


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=====================
Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan, bahwa “menikah” itu adalah salah satu kewajiban yang ditetapkan Allah SWT secara bersyarat kepada setiap orang yang beriman; baik laki-laki maupun perempuan; baik atas kehendaknya sendiri maupun atas dorongan atau bantuan orang-orang yang mampu  membantu adanya satu pernikahan antara seorang l;aki-laki dan perempuan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah SWT:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”  (Q.S. An-Nuur: 32)  

Jadi bukan hanya sekadar “sunnah Nabi SAW” sebagaimana yang ditafsirkan  orang dari sabda Rasulullah SAW  dalam satu hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Hai kaum pemuda, apabila di antara kalian kuasa untuk nikah (berumah tangga), maka hendaklah ia nikah. Sebab pernikahan lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan; Maka barangsiapa yang tidak kuasa hendaklah ia puasa, sebab puasa itu penjaga baginya.”  (Muttafaq ‘alaihi)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa, masalah wajibnya menikah atau kawin sebagaimana yang diperintahkan Allah tersebut terletak pada urgensinya sebuah pernikahan dari segi manfaat dan kemaslahatannya; baik bagi orang yang nikah maupun bagi kepentingan masyarakat banyak, terutama dalam hal mecegah terjadinya dan berkembangnya perbuatan zina sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang kej; Dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al-Israa’: 32) 

Sehingga dengan kondisi ini yang demikia inilah kewajiban itu tidak hanya ditunaikan oleh orang-orang yang sudah sanggup menikah, akan tetapi juga bagi orang-orang yang memiliki kemampuan finansial atau yang berharta banyak untuk membantu menikahkan ahli keluarga dan budak-budak yang mereka miliki, jika mereka memang sudah layak untuk menikah atau dinikahkan sebagaimana yang diperintahkan oleh ayat 32 surah An-Nuur di atas.

“Masalah nikah” di masa sekarang ini tentunya harus mendapat perhatian yang lebih besar dari kita semua. Sebab dalam era globalisasi dan  perkembangan teknologi dunia yang semakin canggih, banyak hal dan peluang yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perzinahan. Karenanya jika kita memang punya kemampuan untuk “menikahkan”  sebagaimana yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya tersebut, maka alangkah baiknya jika hal itu kita laksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.  Sebab tak sedikit di antara kita yang entah disadari atau tidak telah menjadi penghambat dari pelaksanaan sunnatullah tersebut. Terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat istiadat  dan gengsi diri.

Dalam kehidupan masyarakat kita sekarang ini, yang menjadi hambatan terparah dari kemungkinan dapat dilaksanakannya sebuah pernikahan adalah adanya pandangan atau  adat istiadat yang memandang   “kesakralan dan keistimewaan” suatu acara pernikahan secara berlebih-lebihan; apalagi jika hal itu dikaitkan dengan  “marwah keluarga”. Sehingga adakalanya pernikahan bisa ditunda atau dibatalkan lantaran tidak terpenuhinya syarat-syarat yang berkaitan dengan persoalan adat dan marwah tersebut.  Padahal syariat (hukum agama) tidaklah menetapkan hal-hal yang demikian; dan Rasulullah SAW sendiri telah memberi contoh terbaik untuk persoalan ini.

Al-Hakim meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad r.a bahwa :  “Sahal bin Sa’ad menyatakan bahwa; Rasulullah SAW pernah menikahkan seseorang dengan sebuah cincin besi sebagai mahar (mas kawinnya).” 
(HR. Al-Hakim r.a)

Dan menurut riwayat yang lain, orang yang dimaksudkan Sahal bin Sa’ad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim tersebut adalah mahar pernikahan yang diberikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a kepada Fatimah binti Rasulullah SAW.

Dalam satu hadis lainnya  itu Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas bin Malik r.a yang  berkata:

“Bahwa Rasulullah SAW telah tinggal (berdiam) di antara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dan dalam pada itulah beliau menikahi Shafiyah; lalu saya disuruh mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah (kenduri)nya. Dan pada walimah itu tidak ada roti dan daging dan tidak juga (makanan enak-enak) lainnya, kecuali beliau menyuruh membentangkan tikar kemudian di atasnya disajikan kurma; aqit (jenis lain dari kurma – red) dan samin.”   (HR. Muttafaq ‘alaihi)


Selain permasalahan di atas, maka terdapat pula hal-hal yang bersifat pribadi yang dapat menghambat seseorang untuk melaksanakan salah satu “kewajiban” yang sudah ditetapkan Allah tersebut. Diantaranya adalah mereka yang berpikir, bahwa pernikahan akan menghambat karir yang sedang ditapaki.  Sehingga  mereka  lebih   suka  memilih   terlambat  menikah demi mengejar karir yang diidam-idamkan. Dan yang paling celaka lagi adalah, adanya orang-orang yang takut menikah atau berkeluarga (khususnya dari kalangan pemuda) dengan alasan; “belum mampu menafkahi anak dan  isteri” yang dalam bahasa keseharian kita “belum sanggup ngasi makan anak orang”; satu pendapat yang jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan ketentuan dan kekuasaan Allah sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya pada surah An-Nuur ayat 32 di atas.

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan bahwa, alasan tidak mampu untuk menafkahi keluarga bagi orang yang enggan menikah adalah sangat tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab melalui firman-Nya di atas Allah sudah memberi jaminan pasti akan adanya rezeki bagi orang-orang yang mau melaksanakan apa yang telah diperintahkan-nya tersebut. Hanya saja bagi orang-orang yang sudah menikah tersebut berkewajiban berusaha sesuai dengan kemampuannya dengan menta’ati Allah dan rasul-Nya.   

Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas sebenarnya masih banyak problem lain  yang menghambat pernikahan sebagai  salah satu sunnatullah. Akan tetapi walaupun tak dapat diungkapkan, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat merubah cara berpikir dan pandangan kita terhadap masalah pernikahan yang kita anggap terlalu sulit dan berat untuk dilaksanakan.  Adapun soal “jodoh itu di tangan Tuhan” serahkan saja kepada-NYA. Yang jelas memang harus ada upaya perbaikan dan perubahan sikap, agar pernikahan tidak menjadi sesuatu yang sulit dan mahal. Sehingga kita bisa melaksanakan dengan sebaik-baiknya “perintah Allah dan Sunnah Rasulullah SAW”  tersebut, sebagai bagian dari upaya “amar ma’ruf nahi mungkar”  dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan yang dimiliki. Wallahua’lam.

Jakarta,  25  Rajab  1433  H  /  15  Juni  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.