Friday 9 August 2013

NILAI 'LEBIH" UNTUK PEMA'AF



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Dalam kehidupan ini kita sering diperlakukan tidak adil dan dijahati oleh orang lain; Entah itu oleh para pemimpin dan orang-orang yang kita percayai; sahabat bahkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan sedarah dengan kita. Mungkin di antaranya  ada yang diperlakukan jahat dan tidak adil dalam bentuk fitnah; caci maki bahkan sampai-sampai pada perbuatan kasar secara phisik, yang kesemuanya itu menumbuhkan rasa sakit dan bisa berubah menjadi dendam di dalam hati. Dalam keadaan yang demikian ini, maka demi menegakkan keadilan bagi sesama makhluk-Nya,  Allah SWT  mengizinkan kita untuk melakukan pembalasan  yang setara dan seimbang atas segala perlakuan jahat yang dilakukan orang kepada diri kita. Akan tetapi walaupun demikian, Allah SWT tetap lebih suka dan mencintai  orang-orang yang bisa menahan diri dan memberi ma’af atas perlakuan jahat yang didapatnya dari orang lain sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam firman-NYA:

“Balasan perbuatan jahat adalah kejahatan yang seimbang dengannya; akan tetapi barangsiapa yang mema’afkan dan berlaku damai, pahalanya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”   ( Q.S. As-Syuura: 40 )

Mengapa Allah SWT lebih suka kepada orang yang mema’afkan, sementara di sisi lain sebenarnya kita diperkenankan untuk membalas ? Hal ini tentu saja berkaitan dengan “ketakwaan” kita kepada-NYA. Dalam hal ini Al-Quran menjelaskan bahwa, salah satu sifat orang yang bertakwa adalah mereka yang  mema’afkan kesalahan  orang. Untuk hal ini Allah SWT berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa;  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Q.S. Ali ‘Imraan: 133-134)

Sedangkan dalam satu hadits qudsi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kharaiti dari Abu Hurairah r.a  dijelaskan:                “Sesungguhnya Musa a.s bertanya kepada Allah: “Ya Rabbi, siapakah di antara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu ?.” Lalu Allah SWT berfirman: ”Dia adalah orang yang bertakwa yang apabila berkuasa dapat memberi ma’af kepada musuhnya.”

Kita tentu sependapat, bahwa kebanyakan di antara kita akan lebih mudah meminta ma’af atas kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain, daripada memberikan maaf kepada orang lain yang menyakiti atau menzalimi kita. Jadi oleh keadaan inilah, makanya Allah SWT memberikan “nilai lebih” kepada orang yang suka mema’afkan kesalahan orang lain.

Disamping itu menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali; nilai lebih yang diberikan Allah kepada orang yang suka mema’afkan juga berkaitan dengan beberapa hal, diantaranya:

Yang pertama adalah; Bahwa pada hakikatnya orang yang pemaaf adalah juga seseorang yang memiliki nilai kesabaran yang tinggi. Sebab bagaimana seseorang bisa memaafkan kesalahan atau kejahatan orang lain ke atas dirinya jika ia tidak memiliki sifat sabar.  Jadi dengan demikian otomatis ia memiliki nilai ganda; satu untuk ketakwaannya dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah, dan satu lagi untuk kesabaran yang dimilikinya dalam hal memberi maaf kepada orang lain.

Yang kedua, bahwa dengan memiliki  sifat pemaaf, maka  orang tersebut  telah mampu menjadi seorang Rabbani, atau orang yang memiliki dan sekaligus mengamalkan sifat-sifat yang dimiliki Allahu Azza Wa Jalla di dalam kehidupannya. Karena pada hakikatnya hanya Allah adalah Yang Maha Mengampuni dan Memaafkan segala kesalahan hamba-hamba-Nya sebagaimana yang diterangkan Al-Quran:

“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Q.S. Asy-Syuura: 25)

Patut juga diketahui, bahwa menurut “Prof.Quraisy Shihab” ungkapan “bisa mema’afkan tapi tak bisa melupakan” adalah pernyataan yang salah. Sebab jika kita tidak bisa melupakan kejahatan atau kezaliman yang telah dilakukan orang kepada kita, maka bisa jadi pemberian ma’af yang telah kita lakukan akan ternoda oleh lintasan hati yang jahat. Dan ini berarti kita belum sepenuhnya bisa memberi kema’afan. Oleh sebab itulah dalam riwayat ada disebutkan; Bahwa setelah mema’afkan “Wahsyi” (orang yang telah membunuh paman Nabi SAW; Hamzah bin Abdul Muthallib r.a), Rasulullah SAW meminta Wahsyi menjauh dari pandangan beliau, agar beliau tidak teringat akan peristiwa keji yang telah dilakukan oleh Wahsyi tersebut, yang dapat menyebabkan hati beliau kembali terluka dan menumbuhkan lintasan kebencian di dalamnya.

Sebagai manusia biasa mungkin kita agak sulit untuk memberi maaf kepada orang-orang yang menyakiti atau  yang berbuat jahat kepada kita. Akan tetapi tentu saja kita harus terus berusaha untuk melakukannya;  sepanjang perlakuan jahat itu tidak merendahkan martabat keyakinan hak asasi manusia yang sangat mendasar yang kita miliki. Mudah-mudahan usaha yang kita lakukan untuk hal itu, kita akan mendapatkan “nilai lebih” dari Allah SWT sebagai orang bertakwa yang suka mema’afkan orang lain. Wallahua’lam. 

Bagansiapiapi, 2 Syawal 1434 H / 9 Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.