oleh: KH.Bachtiar
Ahmad
=====================
Dalam
kehidupan ini kita sering diperlakukan tidak adil dan dijahati oleh orang lain;
Entah itu oleh para pemimpin dan orang-orang yang kita percayai; sahabat bahkan
oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan sedarah dengan kita. Mungkin
di antaranya ada yang diperlakukan jahat
dan tidak adil dalam bentuk fitnah; caci maki bahkan sampai-sampai pada
perbuatan kasar secara phisik, yang kesemuanya itu menumbuhkan rasa sakit dan
bisa berubah menjadi dendam di dalam hati. Dalam keadaan yang demikian ini,
maka demi menegakkan keadilan bagi sesama makhluk-Nya, Allah SWT
mengizinkan kita untuk melakukan pembalasan yang setara dan seimbang atas segala
perlakuan jahat yang dilakukan orang kepada diri kita. Akan tetapi walaupun demikian, Allah SWT tetap lebih suka dan
mencintai orang-orang yang bisa menahan
diri dan memberi ma’af atas perlakuan jahat yang didapatnya dari orang lain
sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam firman-NYA:
“Balasan
perbuatan jahat adalah kejahatan yang seimbang dengannya; akan tetapi barangsiapa yang mema’afkan dan
berlaku damai, pahalanya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zalim.” ( Q.S. As-Syuura: 40 )
Mengapa Allah SWT lebih suka kepada orang yang mema’afkan, sementara di
sisi lain sebenarnya kita diperkenankan untuk membalas ? Hal ini tentu saja
berkaitan dengan “ketakwaan” kita kepada-NYA. Dalam hal ini Al-Quran
menjelaskan bahwa, salah satu sifat orang yang bertakwa adalah mereka yang mema’afkan kesalahan orang. Untuk hal ini Allah SWT berfirman:
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.
(Q.S. Ali ‘Imraan: 133-134)
Sedangkan dalam satu hadits qudsi
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kharaiti
dari Abu Hurairah r.a dijelaskan: “Sesungguhnya Musa a.s bertanya kepada
Allah: “Ya Rabbi, siapakah di antara hamba-Mu yang lebih mulia menurut
pandangan-Mu ?.” Lalu Allah SWT berfirman: ”Dia adalah orang yang bertakwa yang
apabila berkuasa dapat memberi ma’af kepada musuhnya.”
Kita tentu
sependapat, bahwa kebanyakan di antara kita akan lebih mudah meminta ma’af atas
kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain, daripada memberikan maaf kepada
orang lain yang menyakiti atau menzalimi kita. Jadi oleh keadaan inilah,
makanya Allah SWT memberikan “nilai
lebih” kepada orang yang suka mema’afkan kesalahan orang lain.
Disamping itu
menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali;
nilai lebih yang diberikan Allah kepada orang yang suka mema’afkan juga
berkaitan dengan beberapa hal, diantaranya:
Yang pertama adalah; Bahwa pada
hakikatnya orang yang pemaaf adalah juga seseorang yang memiliki nilai
kesabaran yang tinggi. Sebab bagaimana seseorang bisa memaafkan kesalahan atau
kejahatan orang lain ke atas dirinya jika ia tidak memiliki sifat sabar. Jadi dengan demikian otomatis ia memiliki
nilai ganda; satu untuk ketakwaannya dalam melaksanakan perintah dan larangan
Allah, dan satu lagi untuk kesabaran yang dimilikinya dalam hal memberi maaf
kepada orang lain.
Yang kedua, bahwa dengan memiliki sifat pemaaf, maka orang tersebut telah mampu menjadi seorang Rabbani,
atau orang yang memiliki dan sekaligus mengamalkan sifat-sifat yang dimiliki
Allahu Azza Wa Jalla di dalam kehidupannya. Karena pada hakikatnya hanya Allah
adalah Yang Maha Mengampuni dan Memaafkan segala kesalahan hamba-hamba-Nya
sebagaimana yang diterangkan Al-Quran:
“Dan
Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan
dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Asy-Syuura: 25)
Patut juga diketahui, bahwa menurut “Prof.Quraisy
Shihab” ungkapan “bisa mema’afkan tapi tak bisa melupakan” adalah
pernyataan yang salah. Sebab jika kita tidak bisa melupakan kejahatan atau
kezaliman yang telah dilakukan orang kepada kita, maka bisa jadi pemberian
ma’af yang telah kita lakukan akan ternoda oleh lintasan hati yang jahat. Dan
ini berarti kita belum sepenuhnya bisa memberi kema’afan. Oleh sebab itulah dalam
riwayat ada disebutkan; Bahwa setelah mema’afkan “Wahsyi” (orang yang
telah membunuh paman Nabi SAW; Hamzah bin Abdul Muthallib r.a), Rasulullah SAW
meminta Wahsyi menjauh dari pandangan beliau, agar beliau tidak teringat akan
peristiwa keji yang telah dilakukan oleh Wahsyi tersebut, yang dapat
menyebabkan hati beliau kembali terluka dan menumbuhkan lintasan kebencian di
dalamnya.
Sebagai manusia biasa mungkin kita agak
sulit untuk memberi maaf kepada orang-orang yang menyakiti atau yang berbuat jahat kepada kita. Akan tetapi
tentu saja kita harus terus berusaha untuk melakukannya; sepanjang perlakuan jahat itu tidak
merendahkan martabat keyakinan hak asasi manusia yang sangat mendasar yang kita
miliki. Mudah-mudahan usaha yang kita lakukan untuk hal itu, kita akan
mendapatkan “nilai lebih” dari Allah
SWT sebagai orang bertakwa yang suka mema’afkan orang lain. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 2 Syawal 1434 H / 9 Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad
No comments:
Post a Comment