Friday 27 September 2013

RAHMAT DI BALIK UJIAN ALLAH



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Beberapa waktu yang lalu melalui media ini saya telah menuliskan, bahwa dibalik NIKMAT yang dianugerahkan Allah kepada kita, bisa jadi ada AZAB yang menunggu jika kita tidak mewaspadai dan memanfaatkan kenikmatan itu dengan sebaik-baiknya. Dan sekarang saya ingin mengajak anda untuk merenungkan, bahwa dibalik UJIAN yang diberikan Allah kepada kita, sesungguhnya ada RAHMAT atau “kemudahan” yang dianugerahkan Allah kepada kita sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman-NYA:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali ‘Imran: 190-191)

Persoalannya adalah, bahwa banyak di antara kita yang terjebak dalam “emosional” yang berlebihan lantaran ujian yang diberikan Allah tersebut, sehingga pada akhirnya kita kehilangan “akal sehat” yang secara perlahan dapat menurunkan “kadar keimanan” yang kita miliki. Padahal jika disimak pernyataan Allah  di dalam Al-Quran, justru sebaliknya ujian atau musibah itulah yang  seharusnya menjadikan kita lebih dekat kepada Allah, yang sekaligus dapat meningkatkan nilai keimanan kita kepada-NYA sebagaimana yang tersirat dalam Firman Allah SWT:

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia; maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.”  (Q.S. Al-Israa’: 67)

Dalam ruang terbatas ini memang tak bisa dirinci dan dijabarkan dengan panjang lebar tentang masalah ini. Namun beberapa contoh sederhana ini mungkin bisa dijadikan sebagai pelajaran awal untuk pemahaman lebih lanjut:

Seseorang tentu akan sangat bersedih dan merasa kehilangan tatkala “ibu atau ayah” yang disayanginya berpulang kerahmatullah. Akan tetapi  tentunya ia tidak boleh larut dalam kesedihan dan kedukaan yang panjang. Sebab bagaimanapun juga, “musibah” atau ujian yang diberikan Allah tersebut pasti akan memberikan manfaat yang lebih baik bagi dirinya ketimbang ketika “orang tuanya” masih hidup. Dalam hal ini contoh yang sederhana adalah; bahwa beban yang harus ditanggungnya untuk hal-hal yang bersifat materi lahiriah akan berkurang. Sementara di sisi lain keta’atannya kepada Allah boleh jadi akan bertambah; sebab dengan kematian orang tuanya   tentulah ia harus berusaha untuk lebih ta’at kepada Allah agar menjadi “anak yang saleh” untuk orang tuanya. Bukankah dalam  hadis Rasulullah SAW dikatakan, bahwa salah satu aset yang sangat berharga bagi seorang “anak Adam” setelah matinya adalah “do’a dari anak yang shalih” ?

Ketika Allah menguji kita dengan “sakit” yang berkepanjangan, maka secara lahiriah kita tentu akan merasa rugi lantaran banyak aktifitas duniawi yang tak bisa kita ikuti dan kerjakan. Tapi jika kita mau memahami, bahwa “sakit atau penyakit” yang kita derita merupakan salah satu “sarana dan prasarana” yang dijadikan Allah untuk menghapus dosa dan mengampuni kita, maka tentulah kita tak perlu berduka dengan sakit yang kita rasakan itu.

Begitu juga dengan “kemiskinan” atau kekurangan harta yang kita alami, maka jika kita pahami keadaan ini sebagai salah satu cara Allah SWT untuk meringankan beban akhirat yang harus kita pikul nantinya; maka tentulah kita tak perlu merasa susah dan sulit menjalani kehidupan duniawi ini.

Jadi ketika kita diuji dengan berbagai macam masalah, marilah kita sikapi keadaan itu  dengan hati yang lapang dan kesabaran yang berlandaskan pada “keimanan” yang penuh atas kehendak dan ketetapan yang diberlakukan Allah kepada kita. Sebab yang demikian inilah yang sesungguhnya dikehendaki Allah SWT dari kita sebagaimana firman-NYA:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”;  Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S.Al-Baqarah: 155-157)

Mudah-mudahan dengan demikian kita tidak akan pernah terperosok dalam kedurhakaan kepada Allah; baik langsung ataupun tidak; baik sengaja ataupun dengan tidak sengaja. Bagaimanapun juga Allah SWT telah mengingatkan:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul-mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah; (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Al-Hadiid: 22-23)

Allah SWT juga mengingatkan:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216) ----- Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 22 Dzulqaidah 1434 H / 27 September 2013.
KH.Bachtiar Ahmad.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.