oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Nama “Asy-Syibli”
lengkapnya “Abu Bakar bin Dulaf ibnu Jahdar As-Syibli” tentu sudah tidak asing
lagi bagi kita; terutama yang gemar membaca kitab-kitab “Tasawuf”. Sebab beliau
adalah salah seorang “bintang” di kalangan “ahlus-suffah” yang meninggalkan
banyak pelajaran ruhaniah bagi orang-orang yang ingin menapaki “jalan sufi”
untuk bertakwa kepada Allah SWT.
“Abu Bakar bin Dulaf
ibnu Jahdar Asy-Syibli” lahir di kota Surraman, Persia (sekarang Irak) pada
tahun 247 H / 860 M (wafat pada tahun 334 H / 946 M). Nama “Asy-Syibli” dinisbatkan lantaran
beliau dibesarkan di Syibli di wilayah Khurasan.
“Asy-Syibli”
dil;ahirkan dari keluarga yang ta’at lagi terhormat dan sejak kecil telah
dibekali dengan pendidikan agama oleh orang tuanya. Sehingga pada akhirnya dirinya
mampu mencapai kedudukan yang tinggi lagi terhormat dalam “pemerintahan” di
masa itu. Hanya saja ia kemudian serta merta meninggalkan “jabatan dan
kedudukannya” sebagai “pejabat pemerintah” karena “Khalifah” memarahi dan
menghukum salah seorang pejabat yang baru dilantik, hanya karena si pejabat menyeka “mulut dan hidungnya” dengan jubah
(pakaian dinas) yang dipakainya.
Ketika menyatakan
berhenti dan mundur dari jabatannya, As-Syibli berkata kepada sang Khalifah:
“Wahai khalifah yang terhormat, hanya karena seorang pejabat yang menyeka mulut
dan hidungnya dengan jubah jabatan yang diberikan kepadanya, engkau menjadi
sangat marah dan langsung menghukumnya; Lalu bagaimanakah kemurkaan dan hukuman
Allah yang akan ditimpakan kepadaku seandainya “jubah ilmu” yang
dianugerahkan-NYA kepadaku, aku gunakan sebagai sapu tangan dalam pengabdianku
kepada masyarakat ? Maka mulai hari ini, terimalah kembali jubah dan jabatan
yang telah engkau berikan kepadaku.”
As-Syibli lalu
meninggalkan karir dan jabatanya dan bertaubat kepad Allah SWT. Beliau
mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai
pembimbing spritualnya, hingga akhirnya beliau bertemu dengan Al-Junaid (Junaidi
Al-Baghdadi) di Baghdad. As-Syibli
berkata kepada Al-Junaid: “Wahai tuan, engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah
aku satu atau juallah kepadaku agak sebutir.”
Mendengar itu Junaid
berkata kepada As-Syibli: “Wahai hamba Allah, jika kujual kepadamu, maka
tentulah engkau tidak akan sanggup membelinya.Namun jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma,
karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi
nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan,
apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar; niscaya engkau akan
mendapatkan mutiaramu sendiri.” As-Syibli selanjutnya bertanya kepada
Al-Junaid: “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang ini ? Sebagai jawaban atas
pertanyaan itu, maka Al-Junaid menyuruh As-Syibli berjualan belerang selama
satu tahun di Baghdad.
Setahun lamanya
As-Syibli menyusuri lorong dan jalan yang ada di Baghdad untuk berjualan
belerang. Dan selama itu pula tak seorangpun ada yang mengenalnya, walau
sebelumnya dirinya adalah salah seorang pejabat pemerintah. Setelah itu
As-Syibli pun bergegas menjumpai Al-Junaid. Dan baru saja bertemu, Al-Junaid
berkata kepada As-Syibli: “Sekarang tentulah engkau sudah mulai mengetahui dan
menilai siapa dirimu; ternyata kamu tak ada artinya dalam pandangan orang lain.
Namun demikian janganlah engkau malu dan membenci mereka. Sekarang kembalilah ke negerimu; dan disana
lantaran engkau pernah menjadi Bendahara dan juga menjadi Gubernur dalam waktu
yang cukup lama, dan selama itu banyak orang yang engkau rugikan; maka berilah
mereka imbalan dan mintalah ma’af kepada mereka.”
Atas saran Al-Junaid
tersebut, Asy-Syibli berangkat ke Demavend; tempat dimana ia pernah bertugas
menjadi pejabat negara. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan
imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Setelah itu Asy-Syibli kembali menjumpai
Al-Junaid dan berkata: “Aku telah mengerjakan apa yang tuan perintahkan dan
telah kubagi-bagikan lebih dari 1000 dirham kepada mereka yang merasa dirugikan
oleh perbuatanku, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.”
Al-Junaid hanya
tersenyum mendengarnya dan berkata kepada As-Syibli: “Wahai Abu Bakar, ternyata
masih ada sisa-sisa keangkuhan di dalam dirimu; maka untuk mengobatinya hendaklah
engkau mengemis selama setahun; dan jika
engkau masih saja merasa belum puas, lanjutkan masamu untuk meminta-minta
sampai engkau merasa adanya sesuatu perubahan di dalam dirimu. Dan satu hal
lagi, semua uang hasil mengemismu serahkan kepadaku.”
As-Syibli pun segera
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Al-Junaid. Selanjutnya sebagaimana
yang dituturkan sendiri oleh As-Syibli: “Hampir empat tahun lamanya aku
mengemis, dan setiap kali aku mengemis maka
semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid
membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara aku sendiri dibiarkannya
kelaparan di malam hari.
Hampir empat tahun
lamanya As-Syibli menjalani profesinya sebagai pengemis, sampai suatu hari
Al-Junaid memanggil dan bertanya kepadanya: “Hai Abu Bakar, bagaimanakah perasaanmu dan pandanganmu
sekarang terhadap dirimu sendiri?” Asy-Syibli berkata: “Sungguh aku dapati diriku
sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”
Mendengar jawaban
As-Syibli tersebut, Al-Junaid berkata: “Wahai Abu Bakar, sekarang sadarilah
nilai dirimu, kalau di hadapan sesama makhluk saja engkau sudah merasa terhina,
lalu bagaimana sesungguhnya kedudukanmu di hadapan dan dalam pandangan Allah ?
Maka janganlah engkau pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan
mereka. Tapi pautkanlah dan sibukkanlah diri dan hatimu kepada Allah, sehingga
engkau tidak menjadi hina di hadapan dan dalam pandangan Allah. Mulai hari ini
engkau kuterima di sini sebagai sahabatku dengan satu syarat; engkau tidak
boleh merasa malu dan merasa terhini jika suatu saat harus melayani aku dan
sahabatku yang lainnya.”
Akhirnya dengan tutunan
Al-Junaid; Abu Bakar ibnu Dulaf bin Jahdar As-Syibli menekuni “jalan menuju
Allah” yang di dambakannya; As-Syibli berhasil mendapatkan “mutiara” yang
di-idamkannya. As-Syibli akhirnya dapat mensejajarkan nama dan kedudukannya
dengan Al-Junaid. Bahkan ada yang menilainya, jauh lebih besar dan hebat dari
Al-Junaid. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 29
Dzulqaidah 1434 H / 04 September 2013
KH.BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment