Friday 4 October 2013

HINA DI HADAPAN ALLAH (Belajar dari As-Syibli)



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
 
Nama “Asy-Syibli” lengkapnya “Abu Bakar bin Dulaf ibnu Jahdar As-Syibli” tentu sudah tidak asing lagi bagi kita; terutama yang gemar membaca kitab-kitab “Tasawuf”. Sebab beliau adalah salah seorang “bintang” di kalangan “ahlus-suffah” yang meninggalkan banyak pelajaran ruhaniah bagi orang-orang yang ingin menapaki “jalan sufi” untuk bertakwa kepada Allah SWT.

“Abu Bakar bin Dulaf ibnu Jahdar Asy-Syibli” lahir di kota Surraman, Persia (sekarang Irak) pada tahun 247 H / 860 M (wafat pada tahun 334 H / 946  M). Nama “Asy-Syibli” dinisbatkan lantaran beliau dibesarkan di Syibli di wilayah Khurasan.

“Asy-Syibli” dil;ahirkan dari keluarga yang ta’at lagi terhormat dan sejak kecil telah dibekali dengan pendidikan agama oleh orang tuanya. Sehingga pada akhirnya dirinya mampu mencapai kedudukan yang tinggi lagi terhormat dalam “pemerintahan” di masa itu. Hanya saja ia kemudian serta merta meninggalkan “jabatan dan kedudukannya” sebagai “pejabat pemerintah” karena “Khalifah” memarahi dan menghukum salah seorang pejabat yang baru dilantik, hanya karena si pejabat  menyeka “mulut dan hidungnya” dengan jubah (pakaian dinas)  yang dipakainya.

Ketika menyatakan berhenti dan mundur dari jabatannya, As-Syibli berkata kepada sang Khalifah: “Wahai khalifah yang terhormat, hanya karena seorang pejabat yang menyeka mulut dan hidungnya dengan jubah jabatan yang diberikan kepadanya, engkau menjadi sangat marah dan langsung menghukumnya; Lalu bagaimanakah kemurkaan dan hukuman Allah yang akan ditimpakan kepadaku seandainya “jubah ilmu” yang dianugerahkan-NYA kepadaku, aku gunakan sebagai sapu tangan dalam pengabdianku kepada masyarakat ? Maka mulai hari ini, terimalah kembali jubah dan jabatan yang telah engkau berikan kepadaku.”

As-Syibli lalu  meninggalkan karir dan jabatanya dan bertaubat kepad Allah SWT. Beliau mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya, hingga akhirnya beliau bertemu dengan Al-Junaid (Junaidi Al-Baghdadi) di Baghdad.  As-Syibli berkata kepada Al-Junaid: “Wahai tuan, engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku agak sebutir.”

Mendengar itu Junaid berkata kepada As-Syibli: “Wahai hamba Allah, jika kujual kepadamu, maka tentulah engkau tidak akan sanggup membelinya.Namun  jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar; niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.” As-Syibli selanjutnya bertanya kepada Al-Junaid: “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang ini ? Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, maka Al-Junaid menyuruh As-Syibli berjualan belerang selama satu tahun di Baghdad.

Setahun lamanya As-Syibli menyusuri lorong dan jalan yang ada di Baghdad untuk berjualan belerang. Dan selama itu pula tak seorangpun ada yang mengenalnya, walau sebelumnya dirinya adalah salah seorang pejabat pemerintah. Setelah itu As-Syibli pun bergegas menjumpai Al-Junaid. Dan baru saja bertemu, Al-Junaid berkata kepada As-Syibli: “Sekarang tentulah engkau sudah mulai mengetahui dan menilai siapa dirimu; ternyata kamu tak ada artinya dalam pandangan orang lain. Namun demikian janganlah engkau malu dan membenci mereka.  Sekarang kembalilah ke negerimu; dan disana lantaran engkau pernah menjadi Bendahara dan juga menjadi Gubernur dalam waktu yang cukup lama, dan selama itu banyak orang yang engkau rugikan; maka berilah mereka imbalan dan mintalah ma’af kepada mereka.”

Atas saran Al-Junaid tersebut, Asy-Syibli berangkat ke Demavend; tempat dimana ia pernah bertugas menjadi pejabat negara. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya.  Setelah itu Asy-Syibli kembali menjumpai Al-Junaid dan berkata: “Aku telah mengerjakan apa yang tuan perintahkan dan telah kubagi-bagikan lebih dari 1000 dirham kepada mereka yang merasa dirugikan oleh perbuatanku, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.”

Al-Junaid hanya tersenyum mendengarnya dan berkata kepada As-Syibli: “Wahai Abu Bakar, ternyata masih ada sisa-sisa keangkuhan di dalam dirimu; maka untuk mengobatinya hendaklah  engkau mengemis selama setahun; dan jika engkau masih saja merasa belum puas, lanjutkan masamu untuk meminta-minta sampai engkau merasa adanya sesuatu perubahan di dalam dirimu. Dan satu hal lagi, semua uang hasil mengemismu serahkan kepadaku.”

As-Syibli pun segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Al-Junaid. Selanjutnya sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh As-Syibli: “Hampir empat tahun lamanya aku mengemis, dan setiap kali aku mengemis maka  semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara aku sendiri dibiarkannya kelaparan di malam hari.

Hampir empat tahun lamanya As-Syibli menjalani profesinya sebagai pengemis, sampai suatu hari Al-Junaid memanggil dan bertanya kepadanya:  “Hai Abu Bakar, bagaimanakah perasaanmu dan pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Asy-Syibli berkata: “Sungguh aku dapati diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Mendengar jawaban As-Syibli tersebut, Al-Junaid berkata: “Wahai Abu Bakar, sekarang sadarilah nilai dirimu, kalau di hadapan sesama makhluk saja engkau sudah merasa terhina, lalu bagaimana sesungguhnya kedudukanmu di hadapan dan dalam pandangan Allah ? Maka janganlah engkau pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka. Tapi pautkanlah dan sibukkanlah diri dan hatimu kepada Allah, sehingga engkau tidak menjadi hina di hadapan dan dalam pandangan Allah. Mulai hari ini engkau kuterima di sini sebagai sahabatku dengan satu syarat; engkau tidak boleh merasa malu dan merasa terhini jika suatu saat harus melayani aku dan sahabatku yang lainnya.”

Akhirnya dengan tutunan Al-Junaid; Abu Bakar ibnu Dulaf bin Jahdar As-Syibli menekuni “jalan menuju Allah” yang di dambakannya; As-Syibli berhasil mendapatkan “mutiara” yang di-idamkannya. As-Syibli akhirnya dapat mensejajarkan nama dan kedudukannya dengan Al-Junaid. Bahkan ada yang menilainya, jauh lebih besar dan hebat dari Al-Junaid. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 29 Dzulqaidah 1434 H / 04 September 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.