Friday 11 October 2013

BERKURBAN SEBELUM JADI KORBAN



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Sebentar lagi kita sampai pada tanggal 10 Dzulhijjah 1434 H; itu artinya bagi yang mampu disyari’atkan untuk menyembelih hewan (kurban) sebagai salah satu bentuk keta’atan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Terlebih-lebih lagi bagi yang sudah begitu banyak mendapat nikmat dan karunia Allah SWT (khususnya secara materi lahiriah) sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-NYA:

 “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak;  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah;  Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”  (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)

Tapi sebagai orang yang beriman apakah hanya sebatas itu saja kita harus berkurban kepada Allah? Atau apakah hanya sebatas itu saja pemahaman kita pada sejarah pengorbanan keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s, sebagaimana yang telah diterangkan Allah di dalam Kitab-NYA?

Syaikh Abdullah Al-Ghazali mengatakan, bahwa perintah untuk berkorban atau berkurban untuk meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT tidaklah bersifat temporer atau sesekali waktu saja, melainkan berlaju sepanjang hayat di kandung badan sebagaimana yang  tersirat dan tersurat dalam Firman Allah SWT:

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maaidah: 35)

Dikatakan, bahwa makna berjihad sebagaimana yang dimaksudkan Allah SWT di dalam ayat 35 surah Al-Maaidah di atas, tidak hanya terbatas jihad phisik belaka, melainkan dalam semua aspek yang memungkinkan seseorang dapat melakukannya untuk menegakkan dan mensyiarkan agama Allah; terlebih-lebih lagi bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seseorang yang beriman. Dan tentu saja jihad yang paling utama itu adalah “jihadul akbar” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau, yakni “jihad melawan nafsu dan ego yang ada di dalam diri.” Dan hal inilah sebenarnya yang tersirat atau yang dicerminkan oleh pengorbanan yang dilakukan oleh keluarga Nabiyallah Ibrahim a.s.

Bertahun-tahun Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak, sampai pada akhirnya Ibrahim menikah di usia lanjut dengan Hajar yang kemudian melalui pernikahan itu Allah anugerahkan Ismail kepada mereka. Dan pada saat cinta dan kasih sayangnya memuncak kepada Ismail dan Hajar, Allah SWT memerintahkan Ibrahim untuk  berpisah dan meninggalkan keduanya di lembah yang kering kerontang lagi sunyi. Ibrahim harus, bahkan wajib mengalahkan ego pribadi atau kesenangan hawa nafsunya demi melaksanakan perintah Allah SWT; sementara Hajar juga demikian adanya dan hanya berujar ketika Ibrahim meninggalkan dirinya dan Ismail:  “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah dan tinggalkanlah kami disini.”

Selanjutnya, setelah bertahun-tahun dengan suka duka dan segenap penderitaannya Hajar membesarkan Ismail. Tiba-tiba saja Ibrahim datang menjemput Ismail untuk disembelih atau “dikurban” kan atas perintah Allah SWT. Sebagai seorang ibu, Hajar bisa saja menampik permintaan Ibrahim. Tapi kecintaannya kepada Allah SWT telah menjadikan Hajar rela mengorbankan perasaan dan kecintaan hawa nafsunya kepada Ismail. Bahkan ketika Iblis laknatullah datang menyamar dan menghasutnya untuk tidak meluluskan keinginan Ibrahim, Hajar dengan tegas berkata: “Jika memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya, maka biarlah ia melakukan itu.”

Dilain pihak, sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menilmati masa remajanya, maka dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima perintah Allah tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini dengan firman-Nya:  

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)

Jadi sebenarnya dengan memahami secara seksama sejarah dan keteladanan keluarga Ibrahim a.s tersebut, maka dapatlah dikatakan, bahwa hakikat “kurban” yang dikehendaki  Allah SWT dari setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat adalah: “Wajib mendahulukan perintah dan larangan Allah daripada kepentingan atau kesenangan diri sendiri dengan keihklasan yang penuh.” Dan hal ini pulalah yang menjadi dasar bagi pernyataan Allah SWT:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.  Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S.Al-Hajj: 37)

Artinya adalah, bahwa sebanyak apapun unta atau hewan lainnya yang kita “kurbankan” di bulan Dzulhijjah ini, maka hal itu tidak ada artinya jika tidak di-iringi dengan keikhlasan dan kesiapan kita meninggalkan kepentingan pribadi atau diri sendiri dalam berbuat kebajikan sebagaimana yang dituntut dan dikehendaki Allah SWT; baik itu yang bersifat wajib maupun yang disunnahkan-NYA melalui Rasulullah SAW.

Contoh sederhana yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri “pelakunya”; bahwa adakalanya “sebuah tontonan” lebih memikat dan mengasyikkan kita, sehingga kita tidak peduli lagi tentang keutamaan sholat di awal waktu. Kita tidak lagi melaksanakan perintah Allah sebagaimana tuntunan Rasul-Nya, melainkan menurut “selera” kita sendiri. Sekalipun hal itu tidak melanggar syariat yang ada. Dan tentu saja masih banyak “kasus-kasus” lain yang telah mebuat kita lalai  dan menomor duakan “perintah Allah” dengan alasan yang bersifat pribadi; bukan karena alasan darurat yang dibenarkan oleh syariat.

Oleh sebab itu sudah seharusnya kita mulai merubah sikap; lebih mendahulukan kepentingan Allah daripada kehendak nafsu yang kita miliki; sekalipun menurut hukum agama hal itu “boleh-boleh” saja untuk dilakukan. Sebab pada akhirnya jika kita terus meringankan dan mempermudah “urusan Allah” yang memang telah dimudahkan dan diringankan-NYA untuk kita, bisa-bisa kita akan menjadi “kurban atau korban” hawa nafsu yang kita miliki lantaran sebagaimana yang telah kita maklumi bersama; bahwa nafsu itu lebih besar kecenderungannya pada kejahatan dan kemungkaran sebagaimana yang terpatri di dalam Al-Qur’anul Kariim:

“… sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku...” (Q.S.Yusuf: 53)

Jangan pernah merasa rugi ketika kita “tidak disukai” atau “dibenci” oleh orang-orang yang ada di sekitar kita lantaran lebih mendahulukan “kepentingan Allah” daripada kepentingan diri dan kepentingan duniawi lainnya. Sebab sesungguhnya merekalah sebenarnya yang rugi dan tidak disukai Allah SWT sebagaimana firman-NYA:

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”  (Q.S. Al-Kautsar: 3)

Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 06 Dzulhijjah 1434 H / 11 Oktober 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.