Friday 22 February 2013

NASIHAT GURUKU: (12) (Tentang Sabar dan Syukur)



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Anakku, bersabar atas segala musibah dan ujian Allah adalah hal yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang beriman sebagaimana firman-Nya:

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Q.S.Ali ‘Imran: 186)

Begitu juga kewajiban bersyukur atas segala rahmat-Nya:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.S.Ibrahim: 7)

Akan tetapi adalah lebih utama jika engkau mampu bersyukur atas segala musibah dan ujian  yang ditimpakan Allah  kepadamu serta bersabar atas rahmat dan nikmat yang diberikan-Nya, karena keadaan dan perbuatan yang demikian inilah yang akan mengantarkan engkau ke tingkat iman yang lebih baik dan sempurna.

Anakku, bersabar atas rahmat adalah engkau menggunakan pemberian Allah lebih banyak untuk kepentingan agama-NYA daripada sekadar yang telah Allah tetapkan; dan menahan diri dari menggunakannya untuk kepentingan dan kesenangan hawa nafsu, sekalipun hal itu mubah atau  tidak dilarang oleh agama. Janganlah engkau pernah berpikir dua kali atau menimbang-nimbang buruk baiknya dalam hal  menggunakan harta yang diberikan Allah kepadamu untuk melaksanakan kepentingan agama Allah; baik yang diwajibkan ataupun yang disunnahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW. Janganlah meniru dan mencontohi Tsa’labah, yang pada akhirnya tidak seorangpun mau menerima zakatnya setelah ia menolak dan berpikir-pikir untuk memberikan zakat harta (ternak kambingnya) sebagaimana yang diminta oleh Rasulullah SAW. Sebaliknya contohilah para sahabat seperti Abu Bakar; Umar; Ibnu Auf dan yang lain-lainnya dalam hal menggunakan harta benda mereka di jalan Allah.

Anakku, adapun yang kumaksudkan bersyukur atas musibah yang diujikan Allah kepadamu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab r.a: “Alhamdulillah, untunglah musibah ini tidak sampai merenggut atau merusak agamaku.” Dalam pemahaman yang lain maknanya adalah, bahwa apa-apa musibah yang diujikan kepadamu itu masih sangat kecil jika dibandingkan dengan musibah yang diujikan Allah kepada hamba-hamba-NYA yang lain. Sehingga dengan demikian ujian atau musibah yang menimpamu itu sedikitpun tidak akan mengguncang iman yang ada di dalam hatimu. Sebab jika sedikit saja imanmu terguncang dan tumbuh perasaan akan adanya ketidak adilan Allah terhadap dirimu, maka yang demikian itulah yang dimaksudkan Sayyidina Umar  sebagai hal yang merenggut atau merusak agamanya. Ingatlah akan firman Allah SWT:

 “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. //  (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S.Al-Hadiid: 22-23)

Mudah-mudahan nasihatku ini dapat engkau pahami dan diamalkan dengan hati yang lapang di sepanjang hidupmu. Wallahua’lam

(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )

Bagansiapiapi, 11 Rabi’ul Akhir 1434 H / 22 Pebruari  2013
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 15 February 2013

TENTANG CINTA




Pada hakikatnya hati orang yang mencintai sepenuhnya dikuasai oleh yang dicintainya; Kehendaknya selalu tertuju dan senantiasa disesuaikan dengan kehendak yang dicintainya. Oleh sebab itu, jika cinta dan hati ternyata lebih condong kepada dunia, maka pernyataan cinta seseorang kepada  Allah adalah hal yang nisbi; dan itulah salah satu tanda adanya kemunafikan di dalam dirinya; maka waspadailah dirimu dari kemunafikan yang sangat dibenci oleh Allah. (Abu Hasan As-Syadzili rhmlh)

--***--

Cinta dan kasih sayang yang tulus hanya akan tumbuh di antara orang-orang yang saling mencintai karena Allah. Sedangkan di antara orang-orang yang mencintai karena dunia, cinta yang mereka miliki suatu saat akan berubah menjadi perselisihan yang menumbuhkan kebencian, bahkan peperangan dan pembunuhan. (Syaikh Muhammad Yusron rhmlh)

--***--

Barangsiapa yang besar kecintaannya kepada dunia, maka dia akan menyatukan perkara yang halal dengan yang haram; pada saat itulah dia tidak akan lagi mampu memilih dan memilah; hilanglah rasa malunya kepada Allah dan semakin serakah dengan apa yang ada ditangan makhluk. Sebaliknya barangsiapa lebih besar cintanya kepada Allah, maka dia akan selalu memilih yang halal sekalipun hanya sedikit yang dia peroleh dan tidak akan pernah berharap pada apa yang ada di tangan makhluk. (Syaikh Muhammad Yusron bin Ahmad rhmlh)

--***--

Salah satu tanda cintanya engkau kepada Allah ialah; bahwa engkau merasa terlalu banyak menerima pemberian-Nya yang hanya sedikit; dan engkau tetap mengagungkan-Nya sekalipun yang diberikan-Nya itu membuatmu menderita dan tidak sesuai dengan kehendak nafsumu. (Syaikh Abdullah Al-Ghazali rhmlh)

--***--

Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah dan mencintai-Nya, merasa tentram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia yang sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman. Seseorang tidak akan masuk ke surga yang hakiki, jika tidak mendapatkan surga dunia tersebut. (Muhammad Ibnul Qayyim rhmlh)

--***--

Pekanbaru, 15 Rabiul Akhir 1434 H / 15 Pebruari 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 8 February 2013

PESAN TERAKHIR UMAR BIN KHATTAB



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Beberapa saat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah (Fairuz) seorang budak imigran asal Persia pada saat menjelang shalat shubuh di Masjid Nabawi, Umar bin Khattab berkata kepada putranya   Abdullah bin  Umar: “Wahai anakku, cobalah engkau lihat catatan yang ada, berapakah jumlah utangku.” Setelah diperiksa dan diteliti oleh Abdullah, ia pun berkata: “Wahai ayahku, adapun sisa utangmu yang belum terbayar semuanya berjumlah 86 ribu dinar.” Mendengar itu Umar pun berpesan kepada putranya:

“Wahai Abdullah,  jika engkau  dapatkan harta yang kutinggalkan cukup untuk melunasinya, maka lunasilah utangku dari harta itu. Akan tetapi jika tidak mencukupi, maka mohonlah dari Bani Adi tambahannya. Dan jika juga tidak mencukupi, maka mohonlah bantuan dan tambahannya dari orang orang Quraisy;  dan sekali-kali jangan kumpulkan dari orang-orang selain mereka, sekalipun ada yang mau membantu. Selanjutnya jika  sudah terkumpul, maka segeralah lunasi hutangku. Setelah itu pergilah engkau kepada Aisyah dan katakan padanya, bahwa Umar bin Khattab minta izin dan diperbolehkan untuk dikuburkan bersama sahabatnya yaitu Rasulullah  SAW dan  Abubakar As-Shiddiq; Khulafaur-rasyidin pertama; kepadanya jangan sekali-kali engkau katakan ini pesan dari Amirul Mukminin,  sebab  pada hari ini aku bukan lagi   Amirul Mukminin.”

Segera setelah mendengar pesan tersebut, Abdullah bergegas kerumah Aisyah  dan ditemuinya Aisyah sedang  duduk  sambil menangis, lalu Abdullah menyampaikan permintaan Umar. Kata  Ummul Mukminin  Aisyah: “Demi  Allah, sebenarnya aku ingin tempat itu untukku, tetapi kini aku relakan untuk Umar.”

Begitu mendapat jawaban itu Abdullah bergegas menjumpai Umar bin Khattab yang sedang sekarat; dan melihat kedatangan Abdullah, Umar lalu bertanya: “Wahai anakku, bagamainakah tanggapan Aisyah atas permintaanku ?” Lalu Abdullah menjelaskan, bahwa Aisyah telah memberikan izinnya. Namun demikian jawaban Aisyah, sekali lagi Umar berpesan kepada Abdullah, kata Umar: “Wahai Abdullah, setelah aku meninggal nanti dan selesai mengurus jenazahku, usunglah aku dengan tempat tidurku ini, kemudian sesampainya di sana hendaklah engaku minta izin sekali lagi dari Aisyah, jika ia memberi izin, maka kuburlah aku disana, dan  jika tidak diberi izin  ,maka kuburkan aku di makam umat Islam.”

Ketika jenazah Umar di usung ke pemakamannya, kaum muslimin di Madinah saat itu  merasa seolah olah mereka belum pernah tertimpa musibah kecuali hari itu. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 28 Rabi’ul Awwal 1434 H / 9 Pebruari 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 1 February 2013

MUKMIN MERDEKA



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Secara umum makna kata “merdeka”  adalah: bebas dari perhambaan; perbudakan atau penjajahan. Dan berkaitan dengan makna tersebut, maka Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan tentang “orang beriman” yang merdeka sebagai berikut:

“Seorang mukmin barulah dapat disebutkan  sebagai orang yang merdeka apabila dirinya tidak dijajah atau dikendalikan oleh nafsu syahwatnya dalam mengikuti langkah-langkah (perbuatan) syaithan yang dinyatakan Allah sebagai  musuh yang nyata. Sedangkan  perbuatan syaitan tersebut meliputi semua hal; Baik yang berasal dari keinginan dirinya sendiri, maupun yang terinspirasi (terilhami) dari tipu daya dan  perbuatan   orang-orang kafir;  yang semua perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum dan ketetapan  Allah SWT.”

Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Syaikh Abdullah Al-Ghazali sebagai salah satu tafsir beliau mengenai firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaithan; Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.”  (Q.S. Al-Baqarah: 208)

Dalam bagian lain Syaikh Abdullah Al-Ghazali menyatakan, bahwa untuk bebas dan merdeka dari pengaruh syaithan dan hawa nafsu, maka senjata utamanya adalah keta’atan atau ketundukannya dalam mematuhi aturan-aturan Tuhan-nya; Allah SWT. Sebab hanya dengan cara inilah orang-orang yang beriman dapat menjadi orag yang ikhlas, yang tidak akan mampu ditaklukkan atau ditundukkan oleh syaitan sebagaimana janjinya kepada Allah yang Allah patrikan dalam Al-Qur’an:

“Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau, ya Allah, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Mu yang mukhlis di antara mereka.”  (Q.S. Shaad: 82-83)

Dan juga dengan cara itu sajalah ia dapat memperoleh rahmat atas hawa nafsunya yang senantiasa mengajak dan menyuruhnya melakukan kemungkaran sebagaimana pernyataan Nabi Yusuf a.s yang Allah sematkan sebagai firman-Nya:

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Yusuf: 53)

Selanjutnya Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa secara umum faktor utama yang menjerat manusia ke dalam penjara syaithan dan hawa nafsunya adalah karena  keserakahan mereka pada kenikmatan dan keindahan dunia yang fana ini; Baik sekadar untuk memuaskan hawa nafsu yang bersifat pribadi, maupun untuk kepentingan keluarga; kelompok ataupun golongan-golongan yang mereka ada di dalamnya. Pada akhirnya kondisi yang demikian ini akan memunculkan bentuk penindasan dan penjajahan dalam bentuk baru; yakni seseorang atau sekelompok orang akan menindas orang atau kelompok lainnya demi mencapai tujuan yang dapat  memuaskan kehendak nafsunya.

Akhirnya, mengacu pada penjelasan ringkas di atas, maka ada baiknyakita bertanya pada diri kita sendiri; Benarkah kita sudah hidup sebagai “orang yang merdeka” ? Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 20 Rabi’ul Awwal 1434 H / 01 Pebruari 2013
KH.BACHTIAR AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.