Friday 30 August 2013

SILATURAHMI DAN SILATURRAHIM



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Ada yang mengucapkan “silaturahmi” atau ada juga yang mengatakan “silturrahim”. Akan tetapi apapun bentuk ucapan dan tata bahasanya, maka secara umum  ketika kata-kata tersebut diucapkan seseorang, hal itu sudah pasti bermakna dan bertujuan untuk menjelaskan perihal hubungan kekeluargaan atau hubungan kasih sayang antara seseorang dengan yang lainnya.

Silaturahmi atau silaturahim adalah salah satu “akhlak” yang utama bagi orang-orang yang beriman. Hal ini tercermin dalam Firman Allah SWT:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’: 1)

Sementara itu dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT berfirman:

“Aku adalah Ar-Rahman. telah Aku ciptakan Ar-Rahiim dan Aku petikkan baginya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang menghubungkannya niscaya Aku menghubunginya (dengan rahmat-Ku); dan barangsiapa memutuskannya niscaya Aku memutuskan hubungan-Ku dengannya; dan barangsiapa mengokohkannya niscaya Aku mengokohkan pula hubungan-Ku dengannya. Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.”  (HQR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Baihaqi yang bersumber dari Ibnu 'Auf r.a)

Begitu penting dan utamanya silaturahmi atau silaturahim tersebut, maka Allah SWT langsung melaknat orang-orang yang memutuskannya. Allah SWT berfirman:

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? //  Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS.Muhammad: 22-23)

Sedangkan dalam hadis beliau Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.” (HR.Mutafaq ‘alaiji dari Jubair bin Muth’im r.a)

Kalaupun ada masalah yang mengganggu hubungan kekeluargaan atau silaturahmi tersebut, maka mereka hanya diperkenankan untuk saling berdiam diri atau tidak saling sapa selama 3(tiga) hari; lebih dari itu hukumnya adalah haram /berdosa. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau: “Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak mau menyapa) saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling; Dan yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam.” (HR.Muslim dari Aabu Hurairah r.a)

Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali waktu 3(tiga) hari yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW itu sudah dianggap cukup bagi mereka yang berselisih, untuk saling instropeksi diri dan mendinginkan suasana hati dari kemarahan yang dimiliki.

Dijelaskan bahwa berdasarkan latar belakang hubungan yang terjalin, maka setidak-tidaknya ada 3(tiga) bentuk “silaturahmi” atau “silaturahim” yang patut dijaga atau dipelihara:

PERTAMA: Silaturahmi atau silaturahim yang terjalin atas dasar iman sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dengan firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat: 10)

Al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan firman Allah SWT di atas; maka jelas sekali terlihat adanya larangan untuk “memutuskan” silaturahmi atau silaturahim antara sesama. Dan melalui firman Allah SWT tersebut juga terlihat adanya kewajiban bagi setiap orang yang beriman untuk ikut berperan memperbaiki dan menjalin kembali hubungan antar sesama yang “terganggu” atau “rusak” oleh satu dan lain hal. Bahkan bagi kepentingan yang satu ini; seseorang diperkenankan untuk “berbohong” atau “berdusta” sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Saya tidak pernah mendengar Rasulullah s.a.w. meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan oleh para manusia itu, yakni berdusta, melainkan dalam tiga keadaan, yaitu dalam peperangan; dalam hal  mengislahkan (medamaikan/memperbaiki hubungan) antara sesama manusia; dan ucapan seorang suami terhadap isterinya atau seorang isteri terhadap suaminya, yang masing-masing itu bertujuan untuk kemaslahatan keluarga." (HR. Muslim dari Ummu Kultsum r.a)

KEDUA: Silaturahmi atau silaturahim yang terjalin berdasarkan hubungan darah / garis keturunan yang ada, sekalipun di antara mereka ada perbedaan aqidah/keyakinan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah SWT:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.  Bersyukurlah kepada-KU dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-KU lah kembalimu. // Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan AKU sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-KU, kemudian hanya kepada-KU lah kembalimu, maka KU-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 14-15)

KETIGA: Silaturahmi atau silaurahim yang terjalin karena adanya pernikahan.
Pada hakikatnya pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah untuk lebih mempererat silturahmi atau silaturahim; baik yang berkaitan dengan hubungan yang dilakukan atas dasar keimanan maupun yang berkaitan dengan hubungan darah atau keturunan. Hanya saja banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini. Sehingga pada akhirnya yang terjadi bukannya hubungan yang erat; malah sebaliknya yang terjadi adalah retaknya atau bisa jadi putusnya hubungan kekeluargaan (silaturahmi atau silaturahim) yang telah terjalin sebelumnya. Apalagi jika memang pernikahan tersebut tidak mendapat restu dari salah satu pihak (atau kedua belah pihak). Padahal pernikahan itu sendiri adalah bagian dari takdir atau jodoh yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, hanya saja barangkali akal sehat kita tidak bisa menerima lantaran adanya “gesekan nafsu diri” yang memandang “kajian akal” lebih benar dari “takdir” yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam hal-hal semacam ini ada baiknya kita kembali kepada apa yang telah ditegaskan Allah SWT:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Seharusnya dalam satu ikatan pernikahan kita bisa lebih fleksibel dalam memandang dan menyikapi persoalan dan perbedaan yang ada dengan tujuan, untuk memelihara hubungan silaturahmi/silaturahim yang sangat-sangat diwanti oleh Allah SWT untuk menjaga dan memeliharanya. Dalam hal ini sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang banyak dikisahkan; Bahwa hanya karena ta’at dan tidak adanya izin suaminya, seorang isteri terpaksa harus tetap tinggal  di rumah tatkala orang tua (ayah)nya sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sementara sang suami ketika itu sedang berada di tempat jauh. Oleh sebab itu demi menjaga silaturahim/silaturahmi yang telah terjalin; ada baiknya di awal-awal pernikahan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut; selama tidak melanggar masalah-masalah syari’at yang sangat prinsip; Baik yang bersifat moral maupun material.

Seorang suami memang berhak atas isterinya dan seorang isteri juga memiliki hak dan kewajiban atas diri suaminya; akan tetapi janganlah hak dan kewajiban itu sampai merusak apalagi memutuskan tali silaturahmi/silaturahim yang telah dibina melalui pernikahan. Atau dengan kata lain; jangan menjadi zalim lantaran adanya hak dan kewajiban tersebut, yang mengantarkan kita kepada laknat Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 22-23 yang telah dipetikkan di atas.

Mudah-mudahan tulisan yang ringkas ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang makna dan tujuan silaturahmi atau silturahim yang selalu kita kumandangkan. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 23 Syawal 1434 H / 30 Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad

Friday 23 August 2013

NASIHAT GURUKU: (15) (Tentang sifat lemah lembut)



oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Anakku, dalam bergaul dan menjalani kehidupan ini hendaklah kalian berakhlak atau bersikap lemah lembut terhadap sesama; dan senantiasalah memelihara sifat yang demikian itu dengan sebaik-baiknya. Sebab salah satu akhlak Rasulullah SAW yang sangat menonjol dan mempesona setiap orang adalah “kelembutan pribadi” yang beliau miliki.  Dan ini tercermin dari sikap beliau yang selalu murah senyum, tidak pernah berkata kasar, tidak pernah mengumpat, dan tidak pernah berlaku bengis. Bahkan tidak pernah marah dan membalas kejahatan yang dilakukan orang kepada beliau, kecuali terhadap perbuatan yang melanggar kehormatan agama. 

Perlu engkau ketahui, bahwa sifat lemah lembut adalah salah satu  rahmat Allah yang utama, yang hanya dianugerahkan Allah kepada orang yang bertakwa dan selalu tawakkal terhadap segala kehendak dan ketentuan yang ditetapkan Allah kepadanya. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya: 

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.S. Ali ‘Imran: 159)

Dalam hal ini Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa hanya orang-orang dicintai Allah sajalah yang mendapat anugerah sifat lemah lembut tersebut sebagaimana sabda beliau:     “Apabila Allah SWT menyukai (mencintai) seorang hamba, maka Allah  akan mengkaruniainya kelemah-lembutan. Dan barangsiapa dari keluarga-ku (umat-ku) yang mengharamkan / menjauhi kelemah-lembutan, maka sesungguhnya dia telah menjauhi kebaikan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud  dari Aisyah r.a)

Anakku, hal lain yang juga perlu pula engkau ketahui adalah,  bahwa sifat lemah lembut adalah sebaik-baiknya perhiasan yang dilekatkan Allah kepada hamba-Nya, dan akan menjadi aib jika perhiasan itu lepas darinya. Hal itu dijelaskan Rasulullah SAW dalam hadis beliau:  “Sesungguhnya kelemah-lembutan itu tidak melekat pada sebuah pribadi kecuali sebagai perhiasan, dan tidak terlepas darinya kecuali sebagai keaiban.” (HR. Muslim)

Anakku, sesungguhnya di antara keutamaan sifat lemah-lembut itu dapat memperkaya diri lahir dan bathin serta akan menutupi semua kekurangan yang dimilikinya. Seseorang yang gagah lagi tampan atau yang cantik jelita, sesungguhnya adalah orang yang paling buruk dan jelek dalam pandangan Allah SWT jika ia tidak memiliki akhlak yang penuh dengan kelemah-lembutan. Begitu juga penguasa atau orang kaya yang bersifat bengis lagi kasar, sesungguhnya adalah orang-orang yang hina dalam pandangan Allah.  Orang yang memiliki kelembutan budi pekerti akan selalu dicintai dimana saja ia berada dan dirindukan dan jadi buah bibir orang lain tatkala mereka sudah tiada. Bahkan sifat dengan akhlak Rasulullah SAW  yang lemah-lembut itulah,banyak orang-orang kafir dan musuh-musuh beliau bertekuk lutut dan pada akhirnya menyatakan ke-Islamannya.

Anakku, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT itu Maha Lembut , dan menyukai kelemah-lembutan dalam segala hal.”  Oleh sebab itu sekali lagi kusampaikan, maka hendaklah kalian senantiasa berakhlak dengan sifat yang lemah-lembut dan peliharalah budi pekerti yang demikian itu dengan sebaik-baiknya.

Mudah-mudahan nasihatku yang ringkas ini dapat engkau pahami dan diamalkan dengan hati yang lapang di sepanjang hidupmu. Wallahua’lam

(dinukil dan diedit dari HALAQAT AS-SALIKIN karangan SYAIKH ABDULLAH FATHURRAHMAN )

Bagansiapiapi, 16 Syawal 1434 H / 23 Agustus  2013
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 16 August 2013

JANGAN CUMA BICARA



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Setiap ucapan dan perbuatan kita pasti akan diminta pertanggunganjawabannya oleh Allah SWT. Terlebih-lebih lagi setiap perkataan kita yang mengandung kebajikan dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar; Dan oleh hal yang demikian itulah Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya:

 “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri..”  (Q.S. Al-Baqarah: 44)

Adapun tentang orang-orang yang hanya pandai berkata-kata, menyuruh orang lain melakukan kebajikan, sementara tidak melaksanakan sendiri apa-apa yang diucapkannya itu adalah laksana sebatang lilin. Ia hanya pandai memberikan cahaya dan penerangan kepada apa yang ada di sekitarnya, sementara dirinya sendiri dibiartkannya terbakar dan meleleh tanpa arti.  Hal ini secara tegas telah diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:

“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang lain dan melupakan dirinya sendiri, adalah merupakan lentera (lilin) yang menerangi orang sementara dia sendiri dalam keadaan terbakar.” (H.R. Imam Ahmad r.a)

Sementara itu di lain  sisi, maka menurut ketentuan hukum agama, orang yang semacam inilah yang disebut sebagai pendusta besar atau orang yang munafik yang sangat dibenci Allah SWT sebagaimana  yang secara tersurat dan tersirat dalam firman-NYA:

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? /  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
 (Q.S. As-Shaff: 2-3)

Selain itu dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

“Pada hari Kiamat nanti seseorang akan dibawa dan dimasukkan ke dalam neraka, lalu isi perutnya terburai keluar, dia melilitkannya laksana himar (keledai) yang memutar gilingan. Para penghuni neraka berkumpul di dekatnya seraya bertanya: “Hai fulan, kenapa kamu ini? Bukankah dulu kamu memerin-tahkan untuk berbuat ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran?” Lalu dia menjawab: “Memang dulu aku pernah memerintahkan kalian untuk melakukan yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran, tapi aku sendiri tidak melaksanakannya. Dan mencegah kalian agar tidak berbuat mungkar, malah sebaliknya aku yang melakukannya.”  (Al-Hadits)

Jadi dengan sedikit penjelasan di atas, maka marilah kita konsisten dengan apa yang kita bicarakan (dakwahkan); baik secara langsung atau hanya sekadar menuliskan “status facebook”, agar kita selamat dari kebencian dan kemurkaan Allah SWT. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 09 Syawal 1434 H / 16 Agustus 2013
KH. BACHTIAR AHMAD

Friday 9 August 2013

NILAI 'LEBIH" UNTUK PEMA'AF



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Dalam kehidupan ini kita sering diperlakukan tidak adil dan dijahati oleh orang lain; Entah itu oleh para pemimpin dan orang-orang yang kita percayai; sahabat bahkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat dan sedarah dengan kita. Mungkin di antaranya  ada yang diperlakukan jahat dan tidak adil dalam bentuk fitnah; caci maki bahkan sampai-sampai pada perbuatan kasar secara phisik, yang kesemuanya itu menumbuhkan rasa sakit dan bisa berubah menjadi dendam di dalam hati. Dalam keadaan yang demikian ini, maka demi menegakkan keadilan bagi sesama makhluk-Nya,  Allah SWT  mengizinkan kita untuk melakukan pembalasan  yang setara dan seimbang atas segala perlakuan jahat yang dilakukan orang kepada diri kita. Akan tetapi walaupun demikian, Allah SWT tetap lebih suka dan mencintai  orang-orang yang bisa menahan diri dan memberi ma’af atas perlakuan jahat yang didapatnya dari orang lain sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam firman-NYA:

“Balasan perbuatan jahat adalah kejahatan yang seimbang dengannya; akan tetapi barangsiapa yang mema’afkan dan berlaku damai, pahalanya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”   ( Q.S. As-Syuura: 40 )

Mengapa Allah SWT lebih suka kepada orang yang mema’afkan, sementara di sisi lain sebenarnya kita diperkenankan untuk membalas ? Hal ini tentu saja berkaitan dengan “ketakwaan” kita kepada-NYA. Dalam hal ini Al-Quran menjelaskan bahwa, salah satu sifat orang yang bertakwa adalah mereka yang  mema’afkan kesalahan  orang. Untuk hal ini Allah SWT berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa;  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
(Q.S. Ali ‘Imraan: 133-134)

Sedangkan dalam satu hadits qudsi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kharaiti dari Abu Hurairah r.a  dijelaskan:                “Sesungguhnya Musa a.s bertanya kepada Allah: “Ya Rabbi, siapakah di antara hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandangan-Mu ?.” Lalu Allah SWT berfirman: ”Dia adalah orang yang bertakwa yang apabila berkuasa dapat memberi ma’af kepada musuhnya.”

Kita tentu sependapat, bahwa kebanyakan di antara kita akan lebih mudah meminta ma’af atas kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain, daripada memberikan maaf kepada orang lain yang menyakiti atau menzalimi kita. Jadi oleh keadaan inilah, makanya Allah SWT memberikan “nilai lebih” kepada orang yang suka mema’afkan kesalahan orang lain.

Disamping itu menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali; nilai lebih yang diberikan Allah kepada orang yang suka mema’afkan juga berkaitan dengan beberapa hal, diantaranya:

Yang pertama adalah; Bahwa pada hakikatnya orang yang pemaaf adalah juga seseorang yang memiliki nilai kesabaran yang tinggi. Sebab bagaimana seseorang bisa memaafkan kesalahan atau kejahatan orang lain ke atas dirinya jika ia tidak memiliki sifat sabar.  Jadi dengan demikian otomatis ia memiliki nilai ganda; satu untuk ketakwaannya dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah, dan satu lagi untuk kesabaran yang dimilikinya dalam hal memberi maaf kepada orang lain.

Yang kedua, bahwa dengan memiliki  sifat pemaaf, maka  orang tersebut  telah mampu menjadi seorang Rabbani, atau orang yang memiliki dan sekaligus mengamalkan sifat-sifat yang dimiliki Allahu Azza Wa Jalla di dalam kehidupannya. Karena pada hakikatnya hanya Allah adalah Yang Maha Mengampuni dan Memaafkan segala kesalahan hamba-hamba-Nya sebagaimana yang diterangkan Al-Quran:

“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan mema’afkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Q.S. Asy-Syuura: 25)

Patut juga diketahui, bahwa menurut “Prof.Quraisy Shihab” ungkapan “bisa mema’afkan tapi tak bisa melupakan” adalah pernyataan yang salah. Sebab jika kita tidak bisa melupakan kejahatan atau kezaliman yang telah dilakukan orang kepada kita, maka bisa jadi pemberian ma’af yang telah kita lakukan akan ternoda oleh lintasan hati yang jahat. Dan ini berarti kita belum sepenuhnya bisa memberi kema’afan. Oleh sebab itulah dalam riwayat ada disebutkan; Bahwa setelah mema’afkan “Wahsyi” (orang yang telah membunuh paman Nabi SAW; Hamzah bin Abdul Muthallib r.a), Rasulullah SAW meminta Wahsyi menjauh dari pandangan beliau, agar beliau tidak teringat akan peristiwa keji yang telah dilakukan oleh Wahsyi tersebut, yang dapat menyebabkan hati beliau kembali terluka dan menumbuhkan lintasan kebencian di dalamnya.

Sebagai manusia biasa mungkin kita agak sulit untuk memberi maaf kepada orang-orang yang menyakiti atau  yang berbuat jahat kepada kita. Akan tetapi tentu saja kita harus terus berusaha untuk melakukannya;  sepanjang perlakuan jahat itu tidak merendahkan martabat keyakinan hak asasi manusia yang sangat mendasar yang kita miliki. Mudah-mudahan usaha yang kita lakukan untuk hal itu, kita akan mendapatkan “nilai lebih” dari Allah SWT sebagai orang bertakwa yang suka mema’afkan orang lain. Wallahua’lam. 

Bagansiapiapi, 2 Syawal 1434 H / 9 Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.