oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Beberapa waktu yang
lalu melalui media ini saya telah menuliskan, bahwa dibalik NIKMAT yang
dianugerahkan Allah kepada kita, bisa jadi ada AZAB yang menunggu jika kita
tidak mewaspadai dan memanfaatkan kenikmatan itu dengan sebaik-baiknya. Dan
sekarang saya ingin mengajak anda untuk merenungkan, bahwa dibalik UJIAN yang
diberikan Allah kepada kita, sesungguhnya ada RAHMAT atau “kemudahan” yang
dianugerahkan Allah kepada kita sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam
Firman-NYA:
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal; (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali ‘Imran: 190-191)
Persoalannya
adalah, bahwa banyak di antara kita yang terjebak dalam “emosional” yang
berlebihan lantaran ujian yang diberikan Allah tersebut, sehingga pada akhirnya
kita kehilangan “akal sehat” yang secara perlahan dapat menurunkan “kadar
keimanan” yang kita miliki. Padahal jika disimak pernyataan Allah di dalam Al-Quran, justru sebaliknya ujian
atau musibah itulah yang seharusnya
menjadikan kita lebih dekat kepada Allah, yang sekaligus dapat meningkatkan
nilai keimanan kita kepada-NYA sebagaimana yang tersirat dalam Firman Allah SWT:
“Dan apabila
kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia; maka tatkala Dia
menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak
berterima kasih.” (Q.S. Al-Israa’: 67)
Dalam ruang
terbatas ini memang tak bisa dirinci dan dijabarkan dengan panjang lebar
tentang masalah ini. Namun beberapa contoh sederhana ini mungkin bisa dijadikan
sebagai pelajaran awal untuk pemahaman lebih lanjut:
Seseorang tentu
akan sangat bersedih dan merasa kehilangan tatkala “ibu atau ayah” yang
disayanginya berpulang kerahmatullah. Akan tetapi tentunya ia tidak boleh larut dalam kesedihan
dan kedukaan yang panjang. Sebab bagaimanapun juga, “musibah” atau ujian yang
diberikan Allah tersebut pasti akan memberikan manfaat yang lebih baik bagi
dirinya ketimbang ketika “orang tuanya” masih hidup. Dalam hal ini contoh yang
sederhana adalah; bahwa beban yang harus ditanggungnya untuk hal-hal yang
bersifat materi lahiriah akan berkurang. Sementara di sisi lain keta’atannya
kepada Allah boleh jadi akan bertambah; sebab dengan kematian orang tuanya tentulah ia harus berusaha untuk lebih ta’at
kepada Allah agar menjadi “anak yang saleh” untuk orang tuanya. Bukankah
dalam hadis Rasulullah SAW dikatakan,
bahwa salah satu aset yang sangat berharga bagi seorang “anak Adam” setelah
matinya adalah “do’a dari anak yang shalih” ?
Ketika Allah
menguji kita dengan “sakit” yang berkepanjangan, maka secara lahiriah kita
tentu akan merasa rugi lantaran banyak aktifitas duniawi yang tak bisa kita
ikuti dan kerjakan. Tapi jika kita mau memahami, bahwa “sakit atau penyakit”
yang kita derita merupakan salah satu “sarana dan prasarana” yang dijadikan
Allah untuk menghapus dosa dan mengampuni kita, maka tentulah kita tak perlu
berduka dengan sakit yang kita rasakan itu.
Begitu juga
dengan “kemiskinan” atau kekurangan harta yang kita alami, maka jika kita
pahami keadaan ini sebagai salah satu cara Allah SWT untuk meringankan beban
akhirat yang harus kita pikul nantinya; maka tentulah kita tak perlu merasa
susah dan sulit menjalani kehidupan duniawi ini.
Jadi ketika kita
diuji dengan berbagai macam masalah, marilah kita sikapi keadaan itu dengan hati yang lapang dan kesabaran yang
berlandaskan pada “keimanan” yang penuh atas kehendak dan ketetapan yang
diberlakukan Allah kepada kita. Sebab yang demikian inilah yang sesungguhnya
dikehendaki Allah SWT dari kita sebagaimana firman-NYA:
“Dan sungguh
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”; Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S.Al-Baqarah: 155-157)
Mudah-mudahan
dengan demikian kita tidak akan pernah terperosok dalam kedurhakaan kepada
Allah; baik langsung ataupun tidak; baik sengaja ataupun dengan tidak sengaja.
Bagaimanapun juga Allah SWT telah mengingatkan:
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (lauhul-mahfudz) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah; (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Q.S. Al-Hadiid: 22-23)
Allah SWT juga
mengingatkan:
“Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216) ----- Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
22 Dzulqaidah 1434 H / 27 September 2013.
KH.Bachtiar
Ahmad.