Friday 21 February 2014

THUMA'NINAH



oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim r.a dari Abu Hurairah r.a dikisahkan:

“Bahwa suatu ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid, beberapa saat kemudian masuk pula  seorang laki-laki ke masjid tersebut untuk  melaksanakan sholat. Usai sholat  laki-laki tersebut mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan beliau pun menjawabnya, kemudian bersabda: “Ulangi sholatmu, karena tadi kamu belum sholat”  Lalu laki-laki tersebut melakukan sholat sebagaimana yang telah dilakukannya. Kemudian dia mendekati Rasulullah dan memberi salam, dan Rasulullah SAW bersabda lagi: “Ulangi sholatmu, karena tadi kamu belum sholat”. Dan hal ini terjadi sampai tiga kali, kemudian laki-laki itu berkata kepada Rasulullah SAW: “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran ya Rasulullah, saya tidak bisa melakukan sholat dengan lebih baik lagi, maka ajarilah saya.” Rasulullah SAW lalu bersabda: “Apabila kamu berdiri hendak mengerjakan sholat, bertakbirlah, kemudian bacalah surah Al-Quran yang kau anggap mudah, kemudian rukuklah dengan thuma’ninah; lalu bangunlah hingga kau berdiri tegak dengan thuma’ninah; kemudian sujudlah dengan thuma’ninah; kemudian bangunlah hingga kau duduk dengan thma’ninah. Dan lakukanlah seperti itu pada setiap shalatmu.”  (HR. Muttafaqun ‘alaihi)
             
Dari keterangan hadis di atas tentu dapat kita pastikan, bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukun sholat yang sangat-sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka kesempurnaan sholat yang didirikan.  Akan tetapi dalam kenyataannya perkara “thuma’ninah” inilah yang banyak diabaikan oleh orang-orang yang sholat. Apalagi jika mereka sedang terburu-buru atau diburu-buru oleh pekerjaan atau tugas lain yang mesti dilaksanakannya. Padahal thuma’ninah tidak hanya sekadar menjadi rukun sholat, tetapi juga dapat menjadikan sholat yang ditunaikan menjadi lebih khusyu’, yang memberikan keuntungan besar bagi orang-orang beriman yang sholat sebagai-mana firman Allah SWT:

 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.// (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.”  (Q.S. Al-Mu’minuun: 1-2)
           
Secara umum makna ”thuma’ninah” adalah berhenti sesaat antara satu rukun sholat sebelum mengerjakan rukun yang berikutnya. Jadi sebenarnya semakin bagus nilai thuma’ninah yang dilakukan, maka semakin dekat kita kepada makna khusyuk yang sangat didambakan oleh orang yang sholat. Sebaliknya semakin kurang thuma’ninahnya, maka tingkat ketergesa-gesaan akan semakin tinggi dan dapat menghilangkan kekhusyukan sholat. Dan menurut sebahagian ulama, jika sholat sudah dilakukan dengan tergesa-gesa dan meninggalkan thuma’ninah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, maka hal itu dapat diartikan dengan melalaikan sholat, atau bahkan menyia-nyiakan sholat yang didirikannya.

Syaikh Abdullah Al-Ghazali berpendapat, bahwa thuma’ninah tidak hanya berhenti sesaat dengan begitu saja, akan tetapi hendaknya  dapat pula menyempurnakan bacaan-bacaan atau do’a-doa yang dibaca dalam rukun-rukun sholat tersebut. Sebab terkadang ada orang yang hanya melaksanakan gerakan-gerakan rukun sholatnya saja tanpa membaca apa-apa, kecuali “bertakbir” di antara rukun-rukun sholat yang dikerjakannya; terutama pada saat mendirikan sholat sunat.
           
Menurut Al-Ghazali, memang menurut hukumnya bacaan di waktu ruku’; sujud dan lainnya itu adalah sunat, akan tetapi lantaran bacaan atau do’a-do’a tersebut bersumber dari Rasulullah SAW, yang dibaca oleh Rasulullah SAW dalam setiap sholatnya; baik wajib maupun sholat sunat;  maka adalah tidak sepantasnya  seseorang yang sholat tidak mau membaca doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasululah SAW tersebut hanya lantaran hukumnya sunat. Sementara di sisi lain bukankan Rasulullah SAW telah bersabda, bahwa  hendaklah kita sholat sebagaimana beliau melaksanakan sholat. Artinya adalah; jika beliau bertasbih atau berdo’a di dalam setiap ruku’; sujud dan dalam keadaan lainnya; maka tentulah kita lebih berkewajiban untuk melakukannya. Karena seandainya kita enggan berdo’a atau bertasbih memuji Allah di dalam sholat yang didirikannya, maka apakah kita  lebih hebat atau lebih utama lagi  dari Rasulullah SAW.

Al-Ghazali juga mengatakan, mengingat banyaknya ragam bacaan atau do’a-do’a di dalam beberapa gerakan sholat yang dilakukan yang telah diajarkan Rasulullah SAW, maka boleh jadi yang sunatkan oleh para ulama  itu hanyalah memilih salah satu di antara do’a-do’a tersebut, sedangkan membacanya di dalam sholat tetap merupakan kewajiban, agar sholat yang kita lakukan sama dengan sholat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Adapun tentang kadar bacaan di dalam rukun-rukun sholat tersebut, tentunya terserah kepada kita untuk melafazkannya; Apakah sekali; dua atau tiga kali, baik do’a atau bacaan yang pendek maupun yang panjang; kecuali jika sholat berjama’ah, maka tentulah harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam mendirikan sholat secara berjama’ah. Yang jelas hendaklah membaca atau melafazkan do’a-do’a tersebut dengan penuh kekhusyukan dan harapan kepada Allah untuk dikabulkan-NYA. Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (Q.S. Al-Qiyamah: 16)

Kata Al-Ghazali, maksud dari ayat di atas adalah; Bahwa Allah Ta’ala melarang kita untuk tergesa-gesa dalam membaca Al-Quran maupun berdo’a kepada-NYA.

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya, dalam rangka evaluasi dan upaya kita memperbaiki  dan menyempurnakan sholat yang kita dirikan.  Wallahua’lam.

Jakarta, 20 Rabi’ul Akhir 1435 H / 21 Pebruari 2014
KH.Bachtiar Ahmad.

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.