oleh:
KH.Bachtiar Ahmad
======================
PRABOWO-HATTA
dan JOKOWI-JK pada hakikatnya adalah saudara-saudara kita. Dan jika kita memang
mengaku sebagai orang bertakwa dan ingin mendapatkan rahmat Allah, maka kita
berkewajiban memelihara hubungan baik antara satu dengan yang lain. Bukan
mengadu domba mereka sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan
Firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat: 10)
Kini “mereka”
tampil sebagai Capres dan Cawapres yang akan kita pilih untuk memimpin
Indonesia yang kita cintai ini untuk 5 tahun ke depan. Dan tentu saja kita
berkewajiban pula memilih salah satu di antara kedua pasangan calon-calon
tersebut sebagai satu bagian bagian keta’atan kita pada perintah Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa’:
59)
Akan tetapi
sejak diumumkannya “mereka” sebagai Capres dan Cawapres, banyak di antara kita
yang terlibat; terjebak dan terhasut dalam “Kampanye Hitam” atau yang lebih
populer dengan sebutan “Black Campaign”; mulai dari purnawirawan Jenderal;
ilmuwan/cerdik pandai; ulama; bahkan sampai kepada rakyat awam terbawa oleh
arus “hujat menghujat” tersebut. Mereka semua seakan-akan sudah kehilangan hati nurani dan akal sehatnya
sebagai “orang yang beriman”.
Dalam bahasa agama
“Black Campaign” itu disebut sebagai “GHIBAH” yang secara umum maknanya adalah adalah membicarakan perilaku orang lain; khususnya yang
berkaitan dengan hal-hal negatif tentang dirinya. Baik dengan cara berkata-kata
(membicarakannya); menulis tentang hal itu atau hanya dengan sekadar memberikan
isyarat dan gambaran tentang keburukan orang yang dijadikan sasaran ghibah.
Allah Ta’ala melarang perbuatan Ghibah tersebut
sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Al-Hujuraat: 12)
Sementara dalam
sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Tahukah kalian apa
itu ghibah (menggunjing)?” Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang
lebih tahu.” Kemudian beliau bersabda : “Ghibah adalah engkau membicarakan tentang
saudaramu sesuatu yang dia benci.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah
bagaimana kalau yang kami katakan itu betul-betul ada pada dirinya?” Beliau
menjawab : “Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat
ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah
memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).” (HR.
Muslim dari Abu Hurairah r.a)
Sedangkan dalam hadis yang lain ada disebutkan, bahwa
orang yang suka melakukan ghibah adalah laksana memberikan dengan sangat cepat
amal ibadah dan kebajikan yang ia lakukan kepada orang yang menjadi sasaran
ghibahnya; sementara kebalikan dari itu dirinya memperoleh sebahagian keburukan
atau kejahatan orang yang digunjing/dighibahnya.
Tidak ada alasan
apapun bagi orang beriman; entah itu orang berpangkat atau rakyat yang melarat
sehingga ia boleh meng-ghibah atau menggunjing orang lain (sekalipun ia adalah
orang kafir/non muslim), karena perbuatan itu bisa merugikan dirinya dunia dan
akhirat. Didunia orang yang suka meng-ghibah bisa jadi akan dijauhi dan
dimusuhi oleh sanak saudara ataupun kawan karibnya (yang dalam masa-masa
Pilpres ini berbeda pilihan dengan dirinya); sedangkan di akhirat kelak ia akan
menjadi orang yang rugi lantaran amal ibadahnya sudah habis diambil dan
diberikan kepada orang yang dighibahnya.
Satu hal yang
patut diketahui adalah, bahwa dosa yang disebabkan ghibah ini tidak akan pernah
diampuni oleh Allah sebelum yang ia meminta maaf dan ampunan dari orang yang
dighibahnya. Dosa ghibah tak bisa dibayar dengan kafarat atau denda dengan
melakukan sholat seribu raka’at; istigfar berkepanjangan atau puasa sepanjang
tahun sekalipun, kecuali meminta maaf kepada yang dighibah; sekalipun gujingan
atau ghibah itu kita lakukan hanya karena ikut-ikutan lantaran ingin membela
orang yang kita sukai.
Yang paling
menyedihkan dalam situasi dan kondisi “PILPRES” sekarang ini adalah, banyak di
antara kita yang mengaku “BERIMAN” kepada Allah dan Rasul-Nya, khususnya
“rakyat awam” yang tidak punya kepentingan apa-apa selain fanatismenya kepada
salah satu pasangan Capres/Cawapres; ikut menyebar luaskan “Black Campaign” yang
dibuat oleh kalangan non muslim atau orang-orang kafir yang memusuhi salah satu
pasangan Capres/Cawapres yang ada. Sehingga dengan demikian mau tidak mau;
langsung atau tidak langsung dia telah menjerumuskan dirinya dan mengikuti perbuatan orang-orang kafir tersebut. Atau
dengan kata lain menjadi bagian dari orang-orang kafir tersebut. Bahkan ada
yang “hujatannya” melebihi dari apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir
tersebut. Padahal Allah Ta’ala sudah memberi amaran-NYA:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang
yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang
rugi.” (Q.S. Ali ‘Imran: 149)
Oleh hal-hal
yang demikian inilah kita wajib waspada dan tidak ikut hanyut dalam dinamika
“Black Campaign” yang lebih merugikan diri kita sendiri. Sebab pada akhirnya
ketika salah satu pasangan Capres/Cawapres tersebut sudah terpilih; baik yang
kita suka maupun yang kita hujat; maka kita akan tetap memikul beban dosa “Black
Campaign” yang telah kita perbuat sampai
sa’atnya nanti kita berhadapan dengan “yang kita hujat” di pengadilan Hari
Akhirat di hadapan Allah Ta’ala. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 18
Sya’ban 1435 H / 17 Juni 2014
KH.Bachtiar
Ahmad
No comments:
Post a Comment