oleh: KH.
Bachtiar Ahmad
======================
Walaupun bulan Ramadhan sudah berlalu, akan tetapi
bagi orang-orang beriman “puasa” dalam artian “menjaga dan
mengendalikan” hawa nafsu wajib dilakukan di sepanjang umur yang mereka lalui.
Oleh sebab itu “puasa” yang diwajibkan Allah dalam bulan Ramadhan
sejatinya adalah sarana dan prasarana “pendidikan dan latihan” yang
hasilnya “wajib” pula diaplikasi dan dijabarkan dalam
bulan-bulan yang lain di luar Ramadhan. Karena sebagaimana yang telah
dimaklumi, sesungguhnya “hawa nafsu”
yang dimiliki akan selalu berusaha mengajak dan menyuruh manusia untuk
melakukan perbuatan jahat/mungkar sebagaimana yang diperingatkan Allah Ta’ala
melalui dengan Firman-Nya:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.Yusuf: 53)
Kalau
di bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk menjaga perut dari makan dan minum;
menjaga panca indra yang dimiliki dari segala sesuatu yang dapat mengurangi
nilai; bahkan membatalkan “puasa” yang
tengah dijalani; Maka kondisi yang demikian itu juga berlaku di luar Ramadhan
sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah Ta’ala di dalam
Kitab-Nya. Untuk itu ada baiknya kita simak sejenak mengapa “puasa”; baik yang bersifat jasmaniah
maupun ruhaniah tersebut wajib dilakoni selama hayat di kandung badan.
PUASA PERUT.
“Puasa perut” dalam artian menahan diri dari makan dan minum tidak
hanya wajib dilakukan di bulan Ramadhan saja. Hal itu wajib dilakukan di
sepanjang umur yang kita lalui yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah Ta’ala:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S.Al-A’raaf: 31)
Salah satu pelajaran yang tersirat ketika Allah Ta’ala
melarang kita untuk makan dan minum di bulan Ramadhan mulai sejak terbit fajar
hingga terbenam matahari adalah, bahwa kita tidaklah boleh berlebih-lebihan
dalam soal makan dan minum. Sebab bagaimanapun juga dampak dari makan dan minum
yang berlebih-lebihan itu sudah jelas adanya seperti terganggu dan rusaknya
kesehatan tubuh. Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah tumbuhnya sifat rakus;
boros; mubazir dan perilaku buruk lainnya yang sangat dibenci oleh Allah
Ta’ala.
PUASA INDRAWI.
Di dalam bulan Ramadhan puasa yang kita lakukan tidak
hanya sebatas menahan diri untuk tidak makan dan minum. Akan tetapi juga
diperintahkan untuk menjaga “indra tubuh”
dari hal-hal yang dapat merusak nilai puasa. Dan hal ini tentunya tidak
hanya berlaku secara temporer di bulan Ramadhan saja, melainkan harus dijaga
dan dipelihara seumur hidup sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia tidak mengganggu tetangganya;
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka hendaklah ia
menghormati tamunya; Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,
maka hendaklah ia berkata yang baik-baik atau lebih baik diam jika ia tak mampu
melakukannya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi; Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)
Dan hal
itu semakin dipertegas oleh Allah SWT sebagaimana yang tersirat dalam
firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman; dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat: 11)
Atau dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl: 116)
Adapun
perintah “puasa” dalam artian untuk
menjaga dan memelihara “pendengaran” atau
“telinga” dari sesuatu yang tidak
disukai-Nya, maka secara tersirat Allah Ta’ala telah menegaskan dengan Firman-Nya:
“Dan
apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang
jahil".
(Q.S. Al-Qashash: 55)
Sedangkan dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:
“Mengapa di
waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka
baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini
adalah suatu berita bohong yang nyata.”(QS. An-Nuur: 12)
Selanjutnya
“mata” atau “penglihatan” adalah “indera” tubuh yang paling utama
untuk “dipuasakan”. Sebab kalau
disimak dari keadaan hidup kita sehari-hari,
maka lebih banyak
kemungkinan- kemungkinan buruk yang bisa terjadi oleh sebab pandangan
mata. Bahkan begitu pentingnya “puasa” dalam
artian “menjaga dan memelihara mata”,
maka Allah sekaligus menggandengnya dengan perintah “puasa” dalam hal menjaga dan
mengendalikan “syahwat” yang kita miliki. Dan perintah tersebut tidak
ditegaskan secara umum oleh Allah Ta’ala, melainkan dinyatakan Allah secara
terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka; Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur: 30)
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)
Diakui atau
tidak, maka sebenarnya “pandangan mata” tidak hanya dapat membangkitakan
“syahwat” atau “gairah seksualitas” saja, akan tetapi juga dapat
berdampak pada urusan perut atau selera makan dan minum; kepemilikan harta;
jabatan dan lain-lain sebagainya yang pada akhirnya bisa menjerumuskan
seseorang ke dalam murka Allah Ta’ala.
Dan yang paling
utama untuk diingat, mengapa “puasa seumur hidup” wajib dijalani, karena
secara tegas Allah Ta’ala telah memperingatkan kita dengan Firman-Nya:
“Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S.Al-Isra’:
36)
Inilah
beberapa hal yang patut kita pahami setelah kita dididik dan dilatih oleh Allah
Ta’ala melalui perintah “puasa Ramadhan” yang
lalu, yang pada akhirnya kita dapat mengaplikasikan dan mejabarkannya di
sepanjang kehidupan yang kita jalani. Sehingga dengan demikian nilai-nilai
takwa yang kita miliki akan senantiasa terpelihara. In syaa’ Allah !
Wallahua’lam.
Jakarta,
7 Syawal 1436 H / 24 Juli 2015
KH.
BACHTIAR AHMAD
No comments:
Post a Comment