oleh:
KH Bachtiar Ahmad
====================
Anakku,
sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah dengan ikhlas
sebagaimana Firman-Nya:
“Katakanlah: “Tuhanku
menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu
di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali
kepada-Nya)". (Q.S. Al-A’raf: 29)
“Katakanlah: “Sesungguhnya
aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap
Allah (dengan ikhlas) berdua-dua
atau sendiri-sendiri.” (Q.S.Saba’: 46)
Dan perintah itu telah pula dipertegas oleh Rasulullah “shollallaahu ‘alaihi wasallam” dengan
sabda beliau:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan
dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili r.a)
Adapun makna “ikhlas”
telah dijabarkan oleh para ulama yang di antaranya adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh “Syaikhul Islam” Muhammad
ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab
beliau “Ighatsat Al-Lahfan):
“Ikhlas adalah hati yang
selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan
larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang
dikabarkan-Nya. Ia (hati) akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya
dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan
segala macam cara. Dalam hal ini amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia
mencintai, maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga
karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak
memberi juga karena Allah.”
Oleh sebab itu anakku, sebagaimana yang telah disampaikan
oleh guruku kepadaku; “Ikhlas” itu
tidaklah hanya “urusan hati dan niat” saja,
tapi berkaitan pula dengan “waktu; tempat
dan keadaan” seseorang dalam melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini contohnya adalah keadaan seseorang ketika
mendirikan (mengerjakan) sholat; Bahwa ketika dirinya sholat sendiri
dengan menunda waktunya tanpa ada “uzur syar’i”; maka belumlah sempurna “ikhlasnya” kepada Allah Ta’ala. Sebab
bagaimanapun telah diterangkan oleh Rasulullah, bahwa sholat yang paling utama
itu adalah di awal waktu dan berjama’ah dengan kaum muslimin yang ada di
sekitarnya.
Begitu juga dalam hal berbagi rezeki kepada yang lain, maka
belumlah sempurna “keikhlasan” seseorang
jika ia hanya memberi yang kurang baik; yang kurang ia sukai kepada saudaranya.
Sebab bagaimanapun Allah Ta’ala telah berfirman:
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. Ali
‘Imran: 92)
Jadi anakku, pada intinya adalah; Bahwa ibadah itu hendaklah
dilaksanakan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya; bukan berdasarkan
kehendak nafsu atau selera diri sendiri. Sekalipun hal yang demikian itu tidak
dilarang atau memang dibolehkan oleh syari’at.
Anakku, selain hal itu; yang berkaitan dengan kesempurnaan
nilai ikhlas dalam beribadah adalah; Bahwa engkau lebih mementingkan amal
kebajikan yang bersifat umum dan menyangkut kepentingan atau hajat orang
banyak; Bukan amaliah bagi dirimu sendiri. Dalam hal ini tentulah engkau ingat
kisah yang telah pernah kusampaikan,
bagaimana seorang hamba Allah yang menunda ibadah hajinya lantaran
adanya seorang ibu yang memberi anaknya makan daging kuda yang telah mati. Dan
ternyata dialah satu-satunya orang yang hajinya “mabrur” dimusim itu. Padahal ia tak pernah sampai menginjakkan
kakinya ke Tanah Suci.
Kondisi yang demikian itu juga tercermin dalam perintah Rasulullah
“shollallaahu ‘alaihi wasallam” kepada seseorang yang bertindak sebagai “imam” untuk meringankan sholatnya
(membaca ayat atau surah pendek) sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
“Apabila
salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaknya ia meringankan sholat
tersebut, karena di antara makmum ada anak kecil, orang lanjut usia, orang yang
lemah, dan orang sakit. Kalau ia shalat sendirian, silakan ia shalat
sekehendaknya (dipanjangkan atau dipendekkan).” (HR. Muttafaq
‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)
Bahkan beliau sendiri sengaja meringankan sholatnya ketika
mendengar tangisan bayi sebagaimana yang diriwayatkan; Bahwa Syarik bin ‘Abdullah berkata:
“Aku mendengar Anas bin Malik berkata: “Belum pernah aku
shalat di belakang seorang Imam pun yang lebih ringan dan lebih sempurna
shalatnya daripada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Jika mendengar tangisan
bayi, maka beliau ringankan shalatnya karena khawatir ibunya akan terkena
fitnah.” (HR. Imam Bukhari r.a)
Anakku, mudah-mudahan apa yang kusampaikan ini bermanfa’at
untukku dan untukmu. Sehingga kita benar-benar mendapat nilai “ikhlas” yang sempurna dalam menjalankan
atau mengerjakan setiap ibadah yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada kita.
Aamiin ya robbal ‘alamiin…!
Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 13
Dzulqaidah 1435 H / 28 Agustus 2015
KH. Bachtiar Ahmad
No comments:
Post a Comment