Friday 25 September 2015

QURBAN: Dahulukan Allah

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
======================
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak;  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah;  Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”  (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)

Berkaitan dengan perintah “berkorban” sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam ayat 2 Surah Al-Kautsar  di atas, maka sepertinya kita selalu membatasi diri dalam ruang lingkup “Dzulhijjah” dan “penyembelihan hewan qurban saja. Padahal berkorban sebagai “sarana dan prasarana” untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali;  tidak bersifat temporer di bulan Dzulhijjah dengan menyembelih hewan saja, melainkan berlaku sepanjang hidup dan apa saja boleh dikorbankan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hal ini juga secara tersirat dan tersurat Allah tegaskan dalam Firman-Nya:

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah(berkorbanlah)  pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maaidah: 35)

Dan menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali, pengorbanan yang paling utama itu adalah mengalahkan “egoisme” diri; khususnya yang berkaitan dengan kecintaan dan kesenangan nafsu diri terhadap sesuatu sebagaimana yang telah dicontohkan oleh keluarga “Nabiyallah Ibrahim a.s” yang mendahulukan kepentingan Allah Ta’ala dengan menafikan apa yang menjadi kehendak dan kecintaan diri pada sesuatu yang sangat disenangi atau disayangi.

Sebagaimana yang diriwayatkan, bahwa bertahun-tahun Nabi Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak. Dan baru saja “Ismail” lahir dan tumbuh kasih sayang serta kecintaannya kepada sang anak; Allah Ta’ala  perintahkan kepadanya untuk meninggalkan Ismail dan ibunya Hajar di lembah kering yang sunyi. Dan di sa’at itu pula isterinya; Hajar dengan tegas berkata kepada Ibrahim: “Jika ini yang dikehendaki Allah, pergilah dan tinggalkanlah kami disini.”

Setelah ditinggal Nabi Ibrahim, selama bertahun-tahun  dengan segenap penderitaannya, Hajar membesarkan Ismail. Dan tatkala putra semata wayangnya itu tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah, Ibrahim datang dengan perintah Allah untuk mengorbankan Ismail. Sekali lagi Nabi Ibrahim dan Hajar harus mengenyampingkan “kepentingan pribadi” nya. Bahkan ketika Iblis laknatullah dengan menyamar sebagai laki-laki datang memberi tahu kepada Hajar, bahwa Ibrahim akan menyembelih anaknya, Hajar pun bekata sekali lagi: “Jika memang itu yang diperintahkan Allah kepadanya, maka biarlah ia melakukan itu.”

Dilain pihak, sekalipun dirinya punya hak untuk hidup dan menikmati masa remajanya, maka dengan segenap keikhlasan dan kesabarannya Ismail menerima perintah Allah tersebut untuk ditunaikan. Allah SWT mengabadikan kisah ini dengan firman-Nya:  

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. // Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).” (Q.S. Ash-Shaffat: 102-103)

Jadi mengacu pada pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim di atas, maka dapatlah dikatakan; Bahwa hakikat “berkorban” sebagaimana yang dituntut Allah Ta’ala dari setiap orang yang beriman adalah; “wajib” mendahulukan perintah dan larangan Allah daripada kepentingan atau kesenangan diri sendiri sebagaimana yang ditegaskan Allah dengan Firman-Nya:

“Katakanlah:  “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad (berkorban) di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”  (Q.S. At-Taubah: 24)

Oleh kondisi yang demikian inilah, sebagaimana yang tercatat dalam “Sejarah Islam” banyak “sahabat” Rasulullah SAW yang rela mengorbankan kesenangan diri dan harta bendanya demi mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala; bahkan diri sendiripun mereka korbankan sebagai bukti keta’atan dan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala.

Semoga kita termasuk ke dalam kelompok “hamba Allah” yang selalu siap mendahulukan perintah dan larangan Allah dan meninggalkan semua kesenangan atau kepuasan nafsu diri untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala.

Bagansiapiapi, 10 Dzulhijjah 1436 H / 24  September 2015
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 18 September 2015

IN SYAA’ ALLAH bukan “PEMANIS KATA”

oleh: KH. Bachtiar Ahmad
======================
Ketika ada orang atau pihak lain meminta kita melakukan sesuatu dan berjanji akan melakukannya di kesempatan berikutnya, maka Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk mengucapkan “in syaa’ Allah” (Malaysia: in shaa’ Allah). Sebab bagaimanapun juga kita adalah makhluk yang lemah yang tidak akan mampu melakukan sesuatu apapun tanpa izin dan pertolongan Allah Ta’ala. Akan tetapi banyak di antara kita yang mengucapkannya sebagai “pemanis kata” untuk menyenangkan hati pihak yang meminta, lantaran pada saat permintaan itu diajukan hati kecil kita sudah menolak untuk tidak memenuhi keinginan si peminta. Dan kesalahan semacam itu boleh jadi kita lakukan terus menerus dan berulang-ulang tanpa pernah memikirkan dampak buruknya.
 
Patut kita ketahui, bahwa ucapan atau kalimat “in syaa’ Allah” secara umum maknanya adalah “jika Allah mengkehendaki atau mengizinkannya”.  Dan ini adalah kalimat yang diucapkan oleh para Nabi dan Rasul Allah untuk meneguhkan janji atau kesediaan mereka terhadap apa yang diminta oleh seseorang kepada mereka.  Hal yang demikian itu  secara tersirat dan tersurat Allah terangkan dalam Kitab-Nya; sebagaimana yang diucapkan oleh “Nabi Ismail a.s” kepada ayahandanya “Nabiyallah Ibrahim a.s” tatkala kepadanya disampaikan; Bahwa Allah memberi perintah untuk menyembelih dirinya:

“Maka tatkala anak itu (Ismail) sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in syaa’ Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)

Begitu juga dengan “Nabi Musa a.s” mengucapkannya ketika “Nabi Khidr a.s” menyatakan, bahwa dirinya (Nabi Musa) tidak akan sanggup bersabar mengikuti perjalanan dan pelajaran yang akan di-ikutinya. Al-Quran menerangkan:

“Musa berkata kepada Khidr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” //  Dia (Khidr)  menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. //  Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” // Musa berkata: “ In syaa’ Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (Q.S.Al-Kahfi: 66-69)

Oleh keadaan yang demikian itulah Allah Ta’ala mengingatkan  Rasulullah “shallallaahu ‘alaihi wa sallam”, agar beliau mengucapkan kalimat “in syaa’ Allah” tatkala beliau bersungguh-sungguh ingin menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang kafir pada ke esokan harinya. Padahal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau sangat mengharapkan turunnya “wahyu” dari Allah Ta’ala. Dalam hal inlah Allah Ta’ala berfirman:

 “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi; //  kecuali (dengan menyebut): “In syaa’ Allah”;  Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S. Al-Kahfi: 23-24)

Dan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Jabir At-Tabari, lantaran kelalaian Rasulullah tersebut; Maka Allah menunda turunnya wahyu dalam waktu yang cukup lama.

Selanjutnya mengacu pada keterangan di atas “Syaikh Abdullah Al-Ghazali” menjelaskan bahwa; “Hanya orang yang jujur dan bersungguh-sungguh dengan niatnya, yang pantas mengucapkan in syaa’ Allah”. Atau dengan kata lain,  ucapan atau perkataan  “in syaa’ Allah” tersebut hanya diucapkan oleh “orang yang beriman” ketika dia merasa sanggup dan sungguh-sungguh ingin memenuhi permintaan atau apa yang di-inginkan oleh orang lain kepadanya. Jadi  ucapan “in syaa’ Allah” bukanlah “pemanis kata” untuk menyenangkan hati; atau dengan kata lain bermaksud “ngeles” atau menghindar dari apa yang diminta atau di-inginkan oleh seseorang pada dirinya.

Dikatakan oleh “Syaikh Abdullah Al-Ghazali”, bahwa dalam hal ini jika sejak awal dia memang berniat atau bermaksud  untuk “tidak”  memenuhi permintaan atau keinginan atau apa yang diharapkan orang lain pada dirinya, maka dia tidak boleh mengucapkan “in syaa’ Allah”. Karena hal itu dianggap telah “melecehkan” kedudukan dan kekuasaan Allah; atau dengan kata lain dia telah melindungi keburukan dirinya dengan menjual nama Allah. Atau bisa saja disebut bersumpah dengan nama Allah untuk menutupi kebohongannya. Dan hal tersebut tidak hanya digolongkan kepada perbuatan “dosa besar” Dan dirinya dapat digolongkan dalam kelompok “orang munafik” sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? //  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”  (Q.S. Ash-Shaffat: 2-3)

Alhasil ketika kita diundang untuk hadir dalam suatu acara dan memang tidak ada kesempatan atau memang tidak mau menghadirinya, maka janganlah berlindung di balik ucapan “in syaa’ Allah” hanya karena ingin menyenangkan hati si pengundang. Atau ketika diminta untuk membantu atau menyumbang “dana” untuk suatu kegiatan; lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan “fi sabilillah”, maka adalah lebih baik berterus terang atau meminta ma’af karena memang tidak bisa memenuhinya; jangan ucapkan “in syaa’ Allah” kecuali memang sungguh-sungguh berniat untuk membantu jika Allah memberi kelapangan dan kemudahan untuk itu.

Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik !
Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 4 Dzulhijjah 1436 H / 18 September 2015
KH. Bachtiar Ahmad

Friday 11 September 2015

NASIHAT GURUKU (43): Obat Hasad

0leh: KH.Bachtiar Ahmad
 ====================
Anakku, “hujjatul Islam” Imam Al-Ghazali berkata bahwa: “Sifat dengki itu hanya akan tumbuh di hati jika engkau tidak ingat; bahwa semua kenikmatan itu berasal dari Allahu Ta’ala; yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Oleh sebab itu anakku, jika engkau merasa bahwa ada bibit penyakit hasad di dalam hatimu, maka hendaklah engkau segera mengobatinya dengan memahami dan meyakini segala sesuatunya itu adalah berasal dari kehendak dan kekuasaan Allah Ta’ala. Hendaklah benar-benar engkau tanamkan di dalam hatimu, bahwa soal rezeki; tinggi rendahnya derajat atau miskin dan kayanya seseorang sudah diatur dan ditetapkan Allah Ta’ala dengan segala kehendak-Nya sebagaimana Firman Allah di dalam Kitab-Nya:

“Dan janganlah kamu iri hati (dengki) terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisaa’: 32)

Allah Ta’ala juga mengingatkan kita dengan Firman-Nya:

“Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Asy-Syuura: 12)

Sedangkan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az-Zukhruf: 32)

Anakku, jika engkau membiarkan penyakit “hasad” (iri hati/dengki) itu tumbuh dan menjalar din dalam hatimu, maka akan sia-sialah amal kebaikan yang engkau lakukan sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam:

Jauhilah oleh semua sifat hasad (iri hati/dengki) itu, karena sesungguhnya sifat dengki itu bisa menghabiskan amal-amal kebaikan sebagaimana api menghabiskan kayu bakar”. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a)

Anakku, semoga kiranya nasihatku ini bermanfa’at untuk memelihara iman dan keyakinanmu kepada Allah Ta’ala dan semua amal shalih yang engkau perbuat. Aamiin ya robbal ‘alamin.
Wallahua’lam

Bagansiapiapi, 27 Dzulqaidah 1436 H / 27 September 2015.
KH.Bachtiar Ahmad.

Friday 4 September 2015

SEGERALAH BERAMAL

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Allah SWT dan Rasul-Nya senantiasa mengingatkan kita agar segera melakukan atau mengerjakan amal-amal shalih; baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas-nya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”   (Q.S.Ali ‘Imraan: 133)

Sedangkan Rasulullah SAW bersabda

"Segeralah beramal sebelum datang tujuh perkara; apakah kalian akan menanti sampai datang kemiskinan yang melupakan, atau kaya yang membuat sombong, atau sakit yang merusak kehidupan, atau tua yang melemahkan kekuatan; atau kematian  yang menyegerakan, atau datangnya Dajjal, makhluk gaib yang paling buruk dinanti, atau datangnya hari kiamat, hari yang sangat dahsyat dan mengerikan"   (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a)

Juga dalam hadis “lima” yang cukup populer di kalangan kita:

“Pergunakanlah lima hal sebelum datang lima hal yang lain; Masa mudamu sebelum masa tuamu; sehatmu sebelum datang sakitmu; kekayaanmu sebelum datang miskin (melarat)mu; hidupmu sebelum datang kematianmu; dan masa senggangmu sebelum datang masa sibukmu.”  (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqy  
dari Ibnu Abbas r.a dan HR. Ahmad; Abu Nu’aim dari  Amr bin Maimun r.a)

 “Orang yang cerdik lagi pandai adalah yang pandai memanfaatkan waktu dan kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya”, demikianlah yang dikatakan oleh “hukama”. Oleh karenanya kewajiban melaksanakan amal shalih adalah sesuatu yang sangat mutlak bagi mereka. Terlebih-lebih lagi jika di-ingat, bahwa kematian itu adalah satu perkara yang pasti datang kepada “yang hidup” yang tidak bisa ditebak kapan dan dimana dia akan menjemput sebagaimana yang diperingatkan Allah Ta’ala dengan Firman-Nya:

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kenda-tipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (Q.S.An-Nisaa’: 78)

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S.Al-A’raaf: 3)

Begitu juga dengan kondisi-kondisi lainnya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadis-hadis beliau yang kita kutipkan di atas; misalnya dalam masalah rezeki.  Bahwa seseorang yang dianugerahi  harta benda yang banyak, adalah orang yang paling beruntung dan diuntungkan. Karena dengan harta yang dimilikinya itu, dia punya kesempatan untuk beramal. Dia bisa bersedekah; membayar zakat; naik haji;  membantu orang yang tak punya/miskin dan lain sebagainya.  Sementara dalam keadaan miskin, disamping tidak dapat melakukan amal kebajikan dengan sempurna lantaran sibuk berusaha untuk meng-atasi kemiskinan yang melilit dirinya; maka boleh jadi terpaksa atau tidak akan melakukan kejahatan-kejahatan lantaran kemiskinannya itu.  Oleh hal yang demikian itulah orang yang berharta hendaklah segera beramal, sebab bagaimanapun juga suatu ketika hartanya bisa saja musnah sebagaimana yang tersirat dalam Firman Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hambanya.”  (Q.S.Al-Israa’: 30)

Bahkan orang yang berharta akan selalu berada dalam penyesalan setelah mati, jika diwaktu hidupnya tidak memanfaatkan harta bendanya untuk beramal shalih sebagaimana yang ditegaskan Allah dengan Firman-Nya:

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (Q.S.Al-Munafiqun: 10)

Hal lain yang patut dicermati dan dijadikan sebagai “motivator” diri untuk “segera beramal” adalah adanya informasi dari Rasulullah SAW tentang “Dajjal.” Memang dalam hal ini kita tak dapat mengapresiasikan secara nyata bagaimana bentuk “Dajjal” yang sesungguhnya, akan tetapi yang jelas sekarang ini sudah banyak bentuk-bentuk perbuatan “Dajjal” yang dapat merusak keyakinan dan keimanan yang kita miliki. Baik dalam bentuk ajaran agama yang menyesatkan, maupun dalam bentuk kenikmatan duniawi yang menyenangkan. Sehingga diakui atau tidak, sebagaimana yang kita saksikan sendiri; Banyak saudara-saudara kita yang mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya; khususnya dalam hal mengerjakan amal kebajikan. Baik yang wajib maupun yang sunnah. Karenanya ketika kita masih ada waktu dan diberi kesempatan oleh Allah, maka marilah segera kita perbanyak amal-amal shalih. Sebab bagaimanapun juga hanya hal itu jualah yang menjadi modal dan bekal kita untu akhirat kelak. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 20 Dzulqaidah 1436 H / 4 September  2015
KH. Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.