oleh: KH.Bachtiar Ahmad
=====================
Allah
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal; // (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali
‘Imran: 190-191)
Dan dalam ayat lainnya Allah Ta’ala menegaskan: “Dan pada penciptaan kamu dan pada
binatang-binatang yang melata
yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk
kaum yang meyakini.” (Q.S.Al-Jatsiyah: 4).
Maka mengacu pada apa yang telah dijelaskan Allah Ta’ala
tersebut; ada baiknya kita belajar atau mengambil pelajaran dari “prilaku” hewan atau binatang yang juga
melakukan puasa dalam proses kehidupannya. Sebab walaupun berbeda cara; waktu
dan keadaannya, ada beberapa jenis hewan atau binatang yang berpuasa dalam
proses kehidupannya.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah r.a: “Berapa
banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga
saja.”
Maka orang yang berpuasa semacam ini bisa jadi kita
analogikan sebagai “Puasa Ular”. Sebab dalam menjaga kelangsungan hidupnya
se-ekor Ular akan “berpuasa” setiap
kali akan berganti kulit. Dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu setelah menelan
mangsanya, Ular akan berpuasa dan sekaligus menjalani proses “ganti kulit”. Akan tetapi walau sudah
berpuasa dan berganti kulit, Ular tersebut sedikitpun tidak akan berubah
tabi’at. “Ular” akan tetap melilit
dan menelan bulat-bulat mangsa yang menjadi makanannya; ia akan tetap bergerak
meliuk ke kiri dan ke kanan atau berjalan melingkar untuk naik ke atas dan
turun ke bawah. Dan beginilah keadaan puasa seseorang yang kapasitas imannya
rendah. Ia akan menjalani atau melaksanakan puasa hanya sebagai rutinitas
tahunan yang ia anggap wajib untuk melaksanakannya. Dan seiring dengan
berlalunya bulan Ramadhan dan ia selesai melakukan puasa, maka ia pun akan
kembali pada prilaku hidup yang ia lakoni di hari-hari sebelumnya.
Sebaliknya bagi orang
yang benar-benar beriman, tentulah mereka akan berpuasa dengan penuh
keikhlasan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan
atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu
akan diampuni.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a). Dan engan cara
ini mereka berusaha
semaksimal mungkin melakukan dan mengumpulkan kebajikan yang banyak untuk
sampai pada derajat ketakwaan dan mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.
“Puasa” di bulan Ramadhan benar-benar mereka jadikan sebagai ajang pelatihan untuk
mengendalikan nafsu diri. Sehingga pada hari-hari berikutnya usai Ramadhan,
mereka tidak lagi ditunggangi oleh nafsu yang memang cenderung pada
kemungkaran; Bahkan sebaliknya merekalah yang akan mengendalikan si nafsu untuk
hal-hal yang positif dalam rangka memperkokoh keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah Ta’ala. “Puasa” yang mereka
lakoni juga akan mendidik dan melatih kejujuran mereka; atau paling tidak
mengajarkan mereka menjadi lebih jujur dari hari sebelumnya. Hal ini dikarenakan
puasa adalah ibadah “sirr”; ibadah
yang tersembunyi dari pandangan orang lain, yang hanya Allah Ta’ala dan si
pelakunya sajalah yang tahu, bahwa ia sedang berpuasa. Selain itu, dengan
motivasi bekah dan rahmat yang berlimpah yang Allah Ta’ala berikan di bulan
Ramadhan; mereka (orang yang sungguh-sungguh beriman) akan berlomba-lomba
berbuat kebajikan yang banyak seperti; sedekah; membaca Al-Qur’an; mendirikan
sholat sunat; menyantuni fakir miskin dan lain sebagainya. “Puasa” yang semacam itu, yang dilakukan oleh orang beriman tujuan
untuk mendidik dan melatih dirinya untuk mengendalikan hawa nafsunya; menjadi
orang yang jujur dan banyak berbuat kebajikan sebagaimana yang dijelaskan di
atas, dapatlah kita sifatkan sebagai puasanya se-ekor Kupu-Kupu.
Melalui “Kupu-Kupu” Allah Ta’ala memberi pengajaran kepada kita, bahwa
sebelum menjadi se-ekor “Kupu-Kupu” yang
indah, ianya adalah se-ekor “Ulat” yang
menjijikkan yang sangat rakus melahap segala macam daun yang ada di sekitarnya.
Setelah tiba sa’atnya “si ulat” akan
mengurung dirinya di dalam sarung atau kokonnya atau berubah menjadi kepompong,
dan antara 15-20 hari “si Ulat” di
dalam keterasingannya melakukan puasa, hingga tiba masanya kokon atau kepompong
tersebut akan terbuka dan dari dalamnya keluarlah “Kupu-Kupu” yang indah.
Ulat yang tadinya rakus dan
menjijikkan yang membuat resah para pemilik tanaman, yang tadinya bergerak lamban;
berubah total menjadi se-ekor “kupu-kupu” cantik, yang hanya akan
memakan atau mengisap sari madu bunga yang disukai oleh para pemilik tanaman
karena membantu mereka melakukan penyerbukan, sehingga bunga berubah bentuk
menjadi putik dan buah yang tidak hanya disukai manusia, tapi juga disukai oleh
hewan-hewan lain yang ada di sekitarnya.
Dan oleh karena Allah Ta’ala
berkendak agar kita berusaha meningkatkan ketakwaannya melalui puasa (Ramadhan)
yang diwajibkan-NYA kepada setiap orang yang beriman, maka tak ada pilihan
lain; kecuali kita harus memilih “berpuasa”
dengan cara “kupu-kupu”. Walaupun
pada hari-hari sebelumnya, kita adalah se-ekor “Ulat” yang dipandang jijik oleh setiap orang. Semoga saja Allah
Ta’ala menolong kita. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 18 Ramadhan 1437 H /
22 Juni 2016
KH.Bachtiar Ahmad
No comments:
Post a Comment