(Meluruskan
sejarah; Jangan salah kaprah)
==================================
Kemarin tanggal 22 Desember 2017,
lantaran disebut sebagai “Hari Ibu” (khususnya di Indonesia), maka (termasuk
anak-anak dan adik-adik perempuan saya) banyak yang bikin status bahkan
memposting foto yang berkaitan dengan kasih sayangnya mereka terhadap “ibunda”;
layaknya yang dilakukan oleh “orang-orang sebelah sana” dalam rangka merayakan
“Mother’s Day”.
Maka ketahuilah oleh kalian, bahwa itu adalah “salah” dan “kekeliruan”
dalam memamahami dan memaknai “Hari Ibu” di negeri yang kita cintai ini. Dan
tentu saja banyak “muballigh” atau “ustadz” yang mengharamkannya lantaran hal
itu dianggap sebagai perbuatan “tasyabbuh” atau meniru-niru bahkan mengikuti
tradisi orang-orang kafir.
“HARI IBU” di Indonesia bukanlah “MOTHER’S DAY”, tapi merupakan “Hari
Peringatan” dalam rangka “Mengenang atau Mengingat Sejarah Perjuangan “kaum
Ibu” atau “kaum Perempuan” di negeri yang kita cintai ini.
Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 22-25 Desember 1928
diselenggarakan “Kongres Perempuan Indonesia I”
di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandala
Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, yang di-ikuti atau dihadiri
oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Selain
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang
pendidikan dan pernikahan, maka salah satu hasil dari kongres tersebut adalah
membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia
(Kowani).
Patut diketahui, bahwa organisasi wanita di Indonesia telah ada sejak
1912 yang semuanya terinspirasi
olehperjuangan para pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti R.A.
Kartini;
Cut Nyak Meutia; Dewi Sartika; Nyai Ahmad Dahlan; Rasuna Said; Maria Walanda Maramis
dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam Kongres III tahun 1938 (Kongres
II di Jakarta tahun 1935) ditetapkalnlah tanggal 22 Desember sebagai tanggal
Peringatan Hari Ibu, yang kemudian melalui Dekrit Presiden nomor 316 tahun
1959; Presiden Soekarno menetapkan 22
Desember sebagai Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.
Oleh
karenanya hal ini perlu diluruskan dan disosialisasikan kembali oleh Pemerintah
melalui instansi terkait; Baik di Pusat maupun di Daerah, agar anak-anak generasi
masa depan bangsa ini tidak lupa dengan “sejarah perjuangan” bangsanya sendiri
di tengah-tengah semakin majunya teknologi informasi sekarang ini. Bahkan kalau
perlu para pendakwah; entah itu “ustadz” ataupun “ustadzah” ikut
menjelaskannya. Tidak menghukum begitu saja atas ketidak tahuan umat Islam
(khususnya di Indonesia) tentang sejarah bangsanya.
Seingat
saya, dulu sejak tahun 60an sampai pada masa Pemerintahan Orde Baru (apalagi
ketika almarhum Ibu Tien Soeharto masih hidup), organisasi-organisasi wanita di
negeri ini selalu memperingati “Hari Ibu” ini dengan berbagai acara dan
kegiatan seperti halnya peringatan “Hari Kartini”. Lalu kapan bergesernya makna
peringatan “Hari Ibu” ini menjadi “Mother’s Day” seperti sekarang ini ?
Sebagai
catatan tambahan; Bahwa “Mother’s Day” atau “Hari Ibu” a-la “orang sebelah
sana”; tidaklah dirayakan pada tanggal
22 Desember, tapi bervariasi antara bulan Maret dan yang paling banyak adalah
pada “Minggu ke 2” bulan Mei. Dan itupun ada yang sejarahnya yangh dikaitkan
dengan pemujaan nenek moyang mereka terhadap Dewa, yang jelas bertentangan
dengan “aqidah Islam” yang kita yakini kebenarannya.
Semoga
kita terhindar dari kekeliruan memahami sejarah dan berbuat “tasyabbuh” yang
dapat merusak keimanan dan keta’atan kita kepada Allah Ta’ala. Sebab bagi
seorang “mukmin” mencintai dan menyayangi “ibunya” tidaklah terbatas pada hari
dan tanggal tertentu saja, melainkan sepanjang hidup dan umurnya; baik ketika
“ibu” masih hidup maupun sesudah matinya. Dan berkaitan dengan itu Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. // Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra’: 23-24)
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman: 14)
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. Al-Ahqaaf:
15) --- Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
4 Rabi’ul Akhir 1439 H / 23 Desember 2017
KH.Bachtiar
Ahmad.
No comments:
Post a Comment