Saturday 23 December 2017

MEMAKNAI “HARI IBU”



(Meluruskan sejarah; Jangan salah kaprah)
==================================
Kemarin tanggal 22 Desember 2017, lantaran disebut sebagai “Hari Ibu” (khususnya di Indonesia), maka (termasuk anak-anak dan adik-adik perempuan saya) banyak yang bikin status bahkan memposting foto yang berkaitan dengan kasih sayangnya mereka terhadap “ibunda”; layaknya yang dilakukan oleh “orang-orang sebelah sana” dalam rangka merayakan “Mother’s Day”.

Maka ketahuilah oleh kalian, bahwa itu adalah “salah” dan “kekeliruan” dalam memamahami dan memaknai “Hari Ibu” di negeri yang kita cintai ini. Dan tentu saja banyak “muballigh” atau “ustadz” yang mengharamkannya lantaran hal itu dianggap sebagai perbuatan “tasyabbuh” atau meniru-niru bahkan mengikuti tradisi orang-orang kafir.

“HARI IBU” di Indonesia bukanlah “MOTHER’S DAY”, tapi merupakan “Hari Peringatan” dalam rangka “Mengenang atau Mengingat Sejarah Perjuangan “kaum Ibu” atau “kaum Perempuan” di negeri yang kita cintai ini.

Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan “Kongres Perempuan Indonesia I”  di  gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandala Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, yang di-ikuti atau dihadiri oleh sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Selain sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan, maka salah satu hasil dari kongres tersebut adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).  Patut diketahui, bahwa organisasi wanita di Indonesia telah ada sejak 1912 yang semuanya  terinspirasi olehperjuangan para pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti R.A. Kartini; Cut Nyak Meutia; Dewi Sartika; Nyai Ahmad Dahlan; Rasuna Said;  Maria Walanda Maramis dan lain sebagainya.

Selanjutnya dalam Kongres III tahun 1938 (Kongres II di Jakarta tahun 1935) ditetapkalnlah tanggal 22 Desember sebagai tanggal Peringatan Hari Ibu, yang kemudian melalui Dekrit Presiden nomor 316 tahun 1959; Presiden Soekarno menetapkan  22 Desember sebagai Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.
  
Oleh karenanya hal ini perlu diluruskan dan disosialisasikan kembali oleh Pemerintah melalui instansi terkait; Baik di Pusat maupun di Daerah, agar anak-anak generasi masa depan bangsa ini tidak lupa dengan “sejarah perjuangan” bangsanya sendiri di tengah-tengah semakin majunya teknologi informasi sekarang ini. Bahkan kalau perlu para pendakwah; entah itu “ustadz” ataupun “ustadzah” ikut menjelaskannya. Tidak menghukum begitu saja atas ketidak tahuan umat Islam (khususnya di Indonesia) tentang sejarah bangsanya.

Seingat saya, dulu sejak tahun 60an sampai pada masa Pemerintahan Orde Baru (apalagi ketika almarhum Ibu Tien Soeharto masih hidup), organisasi-organisasi wanita di negeri ini selalu memperingati “Hari Ibu” ini dengan berbagai acara dan kegiatan seperti halnya peringatan “Hari Kartini”. Lalu kapan bergesernya makna peringatan “Hari Ibu” ini menjadi “Mother’s Day” seperti sekarang ini ?

Sebagai catatan tambahan; Bahwa “Mother’s Day” atau “Hari Ibu” a-la “orang sebelah sana”; tidaklah dirayakan  pada tanggal 22 Desember, tapi bervariasi antara bulan Maret dan yang paling banyak adalah pada “Minggu ke 2” bulan Mei. Dan itupun ada yang sejarahnya yangh dikaitkan dengan pemujaan nenek moyang mereka terhadap Dewa, yang jelas bertentangan dengan “aqidah Islam” yang kita yakini kebenarannya.

Semoga kita terhindar dari kekeliruan memahami sejarah dan berbuat “tasyabbuh” yang dapat merusak keimanan dan keta’atan kita kepada Allah Ta’ala. Sebab bagi seorang “mukmin” mencintai dan menyayangi “ibunya” tidaklah terbatas pada hari dan tanggal tertentu saja, melainkan sepanjang hidup dan umurnya; baik ketika “ibu” masih hidup maupun sesudah matinya. Dan berkaitan dengan itu Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.  Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. // Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra’: 23-24)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.  Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqman: 14)

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. Al-Ahqaaf: 15) --- Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 4 Rabi’ul Akhir 1439 H / 23 Desember 2017
KH.Bachtiar Ahmad.
 

No comments:

Post a Comment

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.