oleh: KH.
Bachtiar Ahmad
=====================
“Arogansi” secara umum maknanya adalah “memiliki sifat arogan”.
Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) makna “arogan” adalah:
“merasa memiliki perasaan superioritas atau merasa diri sangat hebat yang
dijabarkan dengan penuh kesombongan dan adakalanya suka memaksakan kehendak;
terutama ketika diri sedang berkuasa atau memilik jabatan penting. Dan
berkaitan dengan hal ini, maka tumbuhnya arogansi atau adanya kesombongan atau
kecongkakan di dalam diri seseorang adalah suatu perkara yang sangat buruk yang sangat dibenci oleh Allah. Sebab keadaan inilah yang menyebabkan “Iblis” laknatullah diusir
Allah dari surge sebagaimana Firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk
tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: “Bersujudlah kamu kepada
Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis; dia tidak termasuk mereka yang
bersujud.// Allah berfirman: “Apakah
yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?”,
menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”//
Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak
sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah; Sesungguhnya kamu
termasuk orang-orang yang hina.” (Q.S. Al-A’raaf: 11-13)
Dan sebagaimana halnya Iblis laknatullah yang
sudah diusir dan terusir dari surganya Allah, maka orang-orang yang sombong pun
pada akhirnya tentulah tidak akan dapat merasakan manisnya sorga, sekalipun
kesombongan itu hanya tersirat di dalam hati dan sebesar dzarrah (bagian atom
yang terkecil), sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak akan
masuk ke sorga, siapa yang di dalam hatinya ada ke-sombongan, sekalipun sebesar
dzarrah.” (HR.Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a)
Dan tentu saja keadaannya akan jadi lebih parah
lagi, jika yang memiliki kesombogan itu adalah orang-orang yang diberikan
amanah oleh Allah sebagai pemimpin atau para penguasa. Sebab dengan arogasi kekuasaan
itu, sebenarnya mereka telah merampas dan menggunakan apa yang sebenarnya
menjadi “hak
Allah”, sebagaimana yang tersirat
dalam sebuah hadis qudsi; Bahwa Allah telah berfirman:
“Kemulyaan itu adalah
pakaian-Ku; dan kesombongan (kebesaran) itu selendang-Ku; maka siapa yang
menyaingi Aku dalam salah satunya, maka tentulah Aku akan menyiksanya.” (HQR.
Muslim dari Abu Hurairah r.a)
Sementara
di sisi lain, sebenarnya kekuasaan yang di-amanahkan Allah kepada mereka itu
sesungguhnya hanyalah semacam ujian belaka, sebagaimana yang diperingatkan
Allah dengan firman-Nya:
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S. Al-An’aam: 165)
Seseorang
yang diberi amanah kekuasaan oleh Allah SWT, seharusnya mau belajar banyak dari
“sejarah” masa
lalu; Baik yang telah dikisahkan Allah melalui firman-Nya di dalam Al-Quran, maupun dari buku atau
catatan sejarah manusia yang ada di muka bumi ini.
Bacalah
Al-Qur’an dan simaklah bagaimana akhir kesudahan kaum ‘Aad dan Tsamud serta
Fir’aun yang sangat arogan dengan kekuasaan yang diamanahkan Allah kepada
mereka. Dan simak pula sejarah manusia tentang bagaimana kesudahannya
penguasa-penguasa seperti; Hitler; Mussolini; Stalin; Mao Tse Tung dan yang
lainnya, ketika menjadi sangat arogan dengan kekuasaan
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? // Mereka itulah orang-orang
yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibuta-kan-Nya
penglihatan mereka. (Q.S. Muhammad:
22-23)
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya; maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? // Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S. Al-Furqan: 43-44)
Sedangkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW telah
memberikan peringatan kepada siapa saja yang diserahi amanah kekuasaan
kepadanya:
“Tiada seorangpun yang diamanahkan oleh Allah untuk memimpin rakyat,
kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkan sorga
baginya.” (HR. Mutafaq ‘alaihi dari Abu
Ja’la bin Jasar r.a)
Akan tetapi walaupun sudah demikian jelasnya
Allah dan rasul-Nya memberikan pengajaran,
banyak di
antara kita yang dengan terang-terangan berusaha menolong dan membantu si
pemilik arogansi kekuasaan untuk terus berkuasa dan atau mempertahankan
kekuasaan mereka dengan berbagai cara; Baik untuk kepentingan yang bersifat
pribadi maupun golongannya masing-masing.
Oleh hal-hal yang demikian inilah , maka a pada akhirnya merekapun saling berkolaborasi atau bekerjasama
untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Padahal perbuatan itu jelas merupakan
perbuatan tercela yang sangat dimurkai, bahkan dilaknat oleh Allah SWT dan
rasul-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintah yaitu yang kejam, maka
janganlah engkau masuk menjadi golongan mereka.” (HR. Mutafaq ‘alaihi dari
‘Aidz bin Amru r.a)
Sebagai orang yang beriman kita memang tidak boleh
tidak harus tunduk dan ta’at kepada penguasa yang telah diangkat sebagai
pemimpin, kecuali jika diperintah melakukan perbuatan maksiat, sebagaimana yang
diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi
walaupun demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdullah
Al-Ghazali, dalam Risalah Tafsir,
ta’at dan tunduk kepada pemimpin yang buruk laku tersebut, bukanlah berarti
kita setuju apalagi bersyubhat dengan kejahatan dan kezaliman yang
dilakukannya. Sebab pada sisi yang lain, sebagai mukmin kita berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar dalam rangka berusaha memperbaiki kesalahan dan kejahatan yang
telah dilakukan si pemimpin.
Sekarang semuanya terpulanglah kepada kita; sebab
kenyataannya ada di antara kita yang (secara lahiriah) sebenarnya mampu untuk berusaha; berbuat
dan berjihad melakukan perubahan-perubahan; akan tetapi nyatanya mereka lebih
suka berada dibawah ketiak sang pemilik kekuasaan lantaran takut kehilangan
jabatan dan kesempatan. Bagi mereka sang pemilik kekuasaan sudah laksana
“Tuhan”
yang lain dalam kehidupan mereka. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi,
30 Rabi’ul Akhir 1439 H / 17 Januari 2018
No comments:
Post a Comment