oleh: KH.Bachtiar
Ahmad
======================
Secara
umum makna “dakwah ilallah” adalah: Upaya mengajak manusia untuk berbuat
baik dan meninggalkan kemungkaran yang dilakukan semata-mata karena Allah sebagaimana
yang tersirat dan tersurat dalam firman Allah Ta’ala:
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Q.S.Ali
‘Imraan: 104)
Tugas “berdakwah” wajib dilakukan oleh siapa saja yang mengaku beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian; baik laki-laki ataupun perempuan. Sekalipun
hanya menyampaikan sepenggal kalimat yang mengajak orang untuk berbuat baik
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, yang di dalam satu hadis Rasulullah
SAW dikatakan: “sampaikanlah dariku
walaupun hanya satu ayat”.
Selain itu, “dakwah ilallah” juga bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau
satu lembaga; Entah itu yang bernama Majlis Taklim; Panitia Hari Besar Islam;
Ormas Islam dan lain sebagainya dengan cara menghadirkan seorang “da’i” atau “muballigh” dan kemudian mengundang orang banyak untuk hadir
mendengarkan ceramah atau apa yang didakwahkan.
Akan tetapi jika kita lihat dengan mata telanjang, maka diakui atau
tidak; kegiatan-kegiatan dakwah yang diselenggarakan oleh banyak pihak sekarang
ini selalu berakhir tanpa bekas. Artinnya hanya sedikit sekali yang mungkin
dapat menarik manfaat atau memanfaatkan dakwah tersebut untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah. Sebab apa yang kita saksikan saat
ini, jumlah orang yang berbuat maksiat bukannya berkurang, malah bertambah
banyak dari jumlah orang yang mau datang beribadah ke Masjid atau Musholla yang
ada. Padahal adakalanya dalam satu kegiatan dakwah yang dihadirkan sebagai “penceramah atau pendakwah” adalah “muballigh atau kyai kondang” yang “harga jual” dakwahnya sampai puluhan
juta rupiah. Lalu dimana letak permasalahannya, sehingga dakwah yang dilakukan
tidak menjadi efektif sebagaimana yang diharapkan?
Kalau
kita teliti dengan seksama, maka beberapa penyebab tidak efektifnya “seruan
kebajikan” yang disampaikan melalui kegiatan dakwah yang dilaksanakan
adalah:
Pertama, kegiatan dakwah yang dilakukan adakalanya dilaksanakan “bukan karena
Allah”, melainkan hanya lantaran sekadar mengikuti “tradisi” yang sudah ada di tempat
tersebut. Seperti Peringatan Maulid Nabi SAW; Isra’ Mi’raj; Tahun Baru Islam
dan lain sebagainya, yang diselenggarakan oleh Masjid; Musholla atau hanya
sebagai bagian dari kegiatan tahunan (proyek) Pemda setempat.
Kedua,
kemungkinan
banyak di antara mereka (baca: ummat) yang hadir dalam penyelenggaraan dakwah
tersebut bukan bertujuan untuk mendengarkan “isi dakwah” yang
disampaikan, melainkan hanya ingin melihat “figur” muballigh yang
diundang atau hanya sekadar ingin bertemu dan berkumpul dengan yang lainnya.
Ketiga, adanya kecenderungan muballigh yang
diundang menarik perhatian dan simpati pendengarnya dengan cara-cara yang tidak
lazim dalam menyampaikan dakwahnya seperti melucu atau melawak, yang pada
akhirnya membuat mereka yang hadir ketika itu tidak lagi benar-benar menyimak
apa yang disampaikan. Atau dengan kata lain muballigh tersebut sudah menjadikan
dakwahnya sebagai alat untuk “bersenda gurau”, satu perkara yang
sebenarnya sangat dilarang Allah sebagaimana Firman-Nya:
“Dan
tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan
senda gurau dan mereka yang telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah
mereka dengan Al-Qur’an, agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam
neraka, karena perbuatannya sendiri.” (Q.S.Al-An’aam: 70)
Bahkan untuk
dapat membuat orang tertawa, adakalanya si pendakwah dengan mudahnya melakukan “ghibah”
atau mengolok-olok;
mengungkit-ungkit seseorang atau kalangan tertentu yang mereka anggap lucu dan
bisa membuat orang tertawa. Padahal yang demikian ini juga sangat dilarang
Allah dengan Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok).” (Q.S.
Al-Hujuraat: 11)
Ke-empat, materi dakwah
yang disampaikan tidak selaras dengan
kenyataan yang dihadapi umat. Penceramah asyik bercerita tentang sesuatu yang
indah yang menurut dia layak disampaikan kepada ummat. Bahkan adakalanya
berbelit-belit dan rancu lantaran tidak fokus pada satu topik yang dibahasnya.
Kelima, isi ceramah adakalanya juga tidak
memberikan solusi yang jelas untuk permasalahan yang dihadapi umat. Malah
sebaliknya menjadi beban berat bagi ummat untuk melaksanakannya. Padahal
Rasulullah SAW telah mengingatkan, agar setiap orang berupaya memberikan
kemudahan bagi yang lainnya. Bahkan secara transparan Allah telah berfirman di
dalam Kitab-Nya:
“Dan berjihadlah kamu pada
jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S.Al-Hajj: 78)
“Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu
menjadi susah.” (Q.S.Thaa-haa: 2)
Inilah
beberapa gambaran tentang kondisi dakwah yang kita hadapi sekarang ini, yang
patut mendapat perhatian kita semua. Sebab jika tidak, maka tidak mustahil akan
terjadi sebagaimana dikatakan orang; “dakwah
jalan terus tapi maksiat tak pernah pupus”. Artinya adalah, bahwa upaya amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan Allah
dan Rasul-Nya hanya akan menjadi rutinitas yang tidak memiliki ruh dan semangat
untuk membawa umat kepada hidup yang lebih baik, yang sesuai dengan perintah
agama. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 23
Jumadil Awal 1439 H / 9 Pebruari 2018
No comments:
Post a Comment