oleh: H.KH.Bachtiar
Ahmad
=======================
Rahmat dan karunia
Allah yang paling besar dan utama dilimpahkan-NYA kepada umat akhir zaman;
khususnya kepada orang-orang yang beriman adalah dilahirkannya seorang hamba
yang sangat dimuliakan, yakni Muhammad bin Abdullah yang diangkat dan diutus
Allah menjadi Nabi dan Rasul-Nya yang terakhir, untuk menyampaikan dan
menyebarkan risalah Allah di alam semesta ini.
Adapun menurut
riwayat yang masyhur dan yang banyak disepakati oleh para ulama disebutkan,
bahwa Muhammad Rasulullah SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal. Dan oleh sebab itu pulalah disa’at-sa’at
Rabiul Awal seperti sekarang ini, banyak kaum muslimin diberbagai tempat
dibelahan dunia ini memperingati hari kelahiran Rasulullah tersebut. Atau yang
lebih populer kita sebut dengan peringatan Maulid Nabi SAW. Selanjutnya berkaitan
dengan kelahiran dan diutusnya Muhammad SAW tersebut, di dalam Kitab-Nya Allah
SWT berfirman:
“Sungguh telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi
penyayang terhadap orang-orang beriman.” (Q.S. At-Taubah: 128)
Sekalipun dalam Firman-Nya
Allah SWT menyebutkan kalimat “…seorang Rasul dari kaummu sendiri..” Akan
tetapi sebagaimana yang ditegaskan Allah di akhir ayat 128 surah At-Taubah
tersebut, bahwa sekalipun Muhammad SAW dilahirkan dari kalangan kaum Arab Quraisy,
maka sesungguhnya beliau tidak hanya berjuang untuk kaumnya saja, melainkan
untuk setiap orang yang beriman atau kaum muslimin yang sangat-sangat beliau
cintai dan sayangi. Dan kenyataanya sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai
riwayat kehidupan beliau; bahkan di akhir hayatnya pun Rasulullah SAW selalu menyebutkan
“ummati..ummati..” . Artinya adalah,
bahwa sejak awal dan akhir perjuangan beliau, yang senantiasa beliau bela dan
pikirkan itu adalah nasib umat beliau kelak di kemudian hari; terutama di
yaumil akhir nanti.
Sekarang
pertanyaannya adalah, bagaimanakah sikap atau akhlak kita kepada beliau ? Hamba
yang dicintai dan yang dimuliakan Allah, yang namanya setiap sa’at kita
lafazkan di dalam syahadat setiap kali kita mendirikan sholat ? Dan yang sa’at
ini kita sibuk memperingati hari kelahiran atau Maulidnya Rasulullah SAW
tersebut. Apakah hanya cukup hanya dengan senantiasa melantunkan dan melafazkan “sholawat dan
salam” sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56)
Bagi orang-orang yang
beriman mencintai Rasulullah SAW adalah hal yang mutlak dan wajib untuk
dilakukan, bahkan tidak ada insan atau orang yang lebih utama dan untuk
dicintainya dan diikutinya selain dari Rasulullah SAW, jika ia benar-benar
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat
dalam Firman Allah Ta’ala:
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. Ali ‘Imraan: 31)
Sedangkan bentuk
kecintaan dan kasih sayangnya kita sebagai orang yang beriman kepada Rasulullah
SAW tersebut, tidaklah hanya cukup dengan melafazkan atau melantunkan sholawat
dan salam kepada beliau. Akan tetapi yang lebih wajib dan utama adalah dengan cara
menjadikan beliau sebagai “patron” atau
teladan untuk melangkah dan bergerak
dalam kehidupan dunia yang sedang kita jalani sekarang ini. Dan hal ini pulalah
yang Allah perintahkan kepada kita dengan Firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(Q.S.
Al-Ahzab: 21)
Artinya adalah, bahwa
dalam hal apapun kita menjalani kehidupan ini; baik yang berkaitan dengan
hablum-minannas ataupun hamblum-minallah yang kita lakoni, maka hendaklah
mengikuti gerak langkah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab pada
hakikatnya, semuanya itu adalah bentuk “ibadah
kepada Allah” untuk meningkatkan nilai-nilai kemuliaan diri kita sendiri;
baik dalam pandangan sesama manusia dan lebih-lebih lagi dalam pandangan Allah
Ta’ala.
Sekarang ini kita
tidak lagi berhadapan atau dapat
melihat secara langsung gerak langkah Rasulullah SAW untuk kita contohi atau
teladani. Akan tetapi Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan beliau yang
sangat tak ternilai harganya, yakni Al-Quran dan As-Sunnah sebagai acuan untuk
kita pelajari dan pedomani dalam menjalankan kehidupan ini. Dan oleh hal yang
demikian inilah, kita harus terus menerus belajar memperbaiki diri dengan
membaca; mempelajari dan sekaligus mengamalkan isi dan kandungan Al-Quran serta
Sunnah Rasulullah semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan untuk itu, agar
kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang binasa nantinya sebagaimana
yang di-ingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau:
“Aku wasiatkan kepada kamu
untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan ta’at (kepada penguasa kaum muslimin),
walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup
setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu
berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk
dan lurus. Peganglah, dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara
baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan
semua bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud,;
At-Tirmidzi; Ad-Darimi; Imam Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Semoga dengan
peringatan Maulid Nabi SAW tahun ini kita benar-benar tergugah untuk
sungguh-sungguh menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan guna menjalani kehidupan
ini, dan sekaligus untuk meningkatkan nilai keimanan dan ketakwaan kita kepada
Allah SWT. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 15
Rabiul Awal 1435 H / 17 Januari 2014
KH.Bachtiar Ahmad