Friday 28 August 2015

NASIHAT GURUKU (44): Ikhlas dalam Ibadah

oleh: KH Bachtiar Ahmad
====================
Anakku, sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah dengan ikhlas sebagaimana Firman-Nya:

“Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya)". (Q.S. Al-A’raf: 29)

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri.”  (Q.S.Saba’: 46)

Dan perintah itu telah pula dipertegas oleh Rasulullah “shollallaahu ‘alaihi wasallam” dengan sabda beliau:

 “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili r.a)

Adapun makna  “ikhlas” telah dijabarkan oleh para ulama yang di antaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh “Syaikhul Islam” Muhammad ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau “Ighatsat Al-Lahfan):

“Ikhlas adalah hati yang selamat dari segala syahwat/keinginan nafsu yang menyelisihi perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang menyelisihi berita yang dikabarkan-Nya. Ia (hati) akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala macam cara. Dalam hal ini amalnya ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai, maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena Allah.”

Oleh sebab itu anakku, sebagaimana yang telah disampaikan oleh guruku kepadaku; “Ikhlas” itu tidaklah hanya “urusan hati dan niat” saja, tapi berkaitan pula dengan “waktu; tempat dan keadaan” seseorang dalam melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam hal ini contohnya adalah keadaan seseorang ketika mendirikan (mengerjakan) sholat; Bahwa ketika dirinya sholat sendiri dengan  menunda waktunya tanpa ada “uzur syar’i”; maka belumlah sempurna “ikhlasnya” kepada Allah Ta’ala. Sebab bagaimanapun telah diterangkan oleh Rasulullah, bahwa sholat yang paling utama itu adalah di awal waktu dan berjama’ah dengan kaum muslimin yang ada di sekitarnya.

Begitu juga dalam hal berbagi rezeki kepada yang lain, maka belumlah sempurna “keikhlasan” seseorang jika ia hanya memberi yang kurang baik; yang kurang ia sukai kepada saudaranya. Sebab bagaimanapun Allah Ta’ala telah berfirman:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. Ali ‘Imran: 92)

Jadi anakku, pada intinya adalah; Bahwa ibadah itu hendaklah dilaksanakan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya; bukan berdasarkan kehendak nafsu atau selera diri sendiri. Sekalipun hal yang demikian itu tidak dilarang atau memang dibolehkan oleh syari’at.

Anakku, selain hal itu; yang berkaitan dengan kesempurnaan nilai ikhlas dalam beribadah adalah; Bahwa engkau lebih mementingkan amal kebajikan yang bersifat umum dan menyangkut kepentingan atau hajat orang banyak; Bukan amaliah bagi dirimu sendiri. Dalam hal ini tentulah engkau ingat kisah yang telah pernah kusampaikan,  bagaimana seorang hamba Allah yang menunda ibadah hajinya lantaran adanya seorang ibu yang memberi anaknya makan daging kuda yang telah mati. Dan ternyata dialah satu-satunya orang yang hajinya “mabrur” dimusim itu. Padahal ia tak pernah sampai menginjakkan kakinya ke Tanah Suci.

Kondisi yang demikian itu juga tercermin dalam perintah Rasulullah “shollallaahu ‘alaihi wasallam”  kepada seseorang yang bertindak sebagai “imam” untuk meringankan sholatnya (membaca ayat atau surah pendek) sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:

“Apabila salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaknya ia meringankan sholat tersebut, karena di antara makmum ada anak kecil, orang lanjut usia, orang yang lemah, dan orang sakit. Kalau ia shalat sendirian, silakan ia shalat sekehendaknya (dipanjangkan atau dipendekkan).” (HR. Muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah r.a)

Bahkan beliau sendiri sengaja meringankan sholatnya ketika mendengar tangisan bayi sebagaimana yang diriwayatkan; Bahwa Syarik bin ‘Abdullah berkata:

“Aku mendengar Anas bin Malik berkata: “Belum pernah aku shalat di belakang seorang Imam pun yang lebih ringan dan lebih sempurna shalatnya daripada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Jika mendengar tangisan bayi, maka beliau ringankan shalatnya karena khawatir ibunya akan terkena fitnah.” (HR. Imam Bukhari r.a)

Anakku, mudah-mudahan apa yang kusampaikan ini bermanfa’at untukku dan untukmu. Sehingga kita benar-benar mendapat nilai “ikhlas” yang sempurna dalam menjalankan atau mengerjakan setiap ibadah yang diperintahkan Allah Ta’ala kepada kita. Aamiin ya robbal ‘alamiin…!
Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  13 Dzulqaidah 1435 H / 28 Agustus 2015
KH. Bachtiar Ahmad

Friday 21 August 2015

AGAMA YANG DIMUDAHKAN

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
Banyak di antara kita yang merasa sulit dan berat untuk melaksanakan “syari’at Islam”. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah menyatakan, bahwa “Islam” adalah agama yang mudah dan dimudahkan sebagaimana yang dijelaskan Allah dengan Firman-Nya:

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”  (Q.S. Al-Hajj: 78)

“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (Q.S. Thaa-Haa: 2)

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Sementara dalam hadis beliau Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya agama ini adalah agama yang mudah, dan tidaklah seseorang itu melampaui batas dalam menjalankan agama ini kecuali akan kalah dengan sendirinya. Oleh karena itu berusahalah untuk mengamalkan agama ini dengan benar, dan kalau tidak bisa sempurna, maka berusahalah untuk mendekati kesempurnaan. Dan bergembiralah kalian dengan pahala bagi kalian yang sempurna walau pun amalan kalian tidak sempurna. Dan upayakan menguatkan semangat beribadah dengan memperhatikan ibadah di pagi hari dan di sore hari dan di sebagian malam (yakni waktu-waktu di mana kondisi badan sedang segar untuk beribadah). (HR. Al-Bukhari; An-Nasa’I; Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a)

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Kemudahan dan keringanan atau yang disebut sebagai “rukhsah” yang diberikan Allah SWT untuk menjalankan apa-apa yang telah ditetapkan dan yang diwajibkan-Nya itu, tidak hanya berlaku dalam keadaan ”darurat” atau kondisi-kondisi tertentu, akan  tetapi juga ada dalam keadaan biasa. Sebagai contoh mari kita pahami dan renungkan sejenak tentang kemudahan-kemudahan “ibadah” yang  telah diwajibkan-Nya kepada kita:  

Pertama: Allah Ta’ala mewajibkan kita untuk mengerjakan sholat 5(lima) kali/waktu dalam sehari semalam. Atau dengan kata lain dalam kurun waktu 24 jam (1440 menit). Dalam hal ini jika rata-rata setiap kali kita mengerjakan sholat hanya memakan waktu 15 menit, maka total waktu untuk mengerjakan perintah sholat yang diwajibkan itu hanya 75 menit, atau hanya kurang lebih 5% dari total waktu yang Allah berikan kepada kita. Akan tetapi nyatanya tetap saja kita merasa berat dan sulit, padahal waktu yang diberikan Allah kepada kita untuk urusan (dunia) lainnya jauh lebih banyak.

Kedua: Dalam setahun hidup yang kita jalani berjumlah 365 hari. Dan Allah SWT hanya mewajibkan kita “puasa” 29 atau 30 hari, itupun tidak harus kita lakukan selama 24 jam setiap harinya. Secara umum “puasa” yang diwajibkan (di Indonesia) hanya berkisar antara 14-16 jam dalam sehari semalam. Oleh sebab itu alangkah ironisnya jika puasa yang diwajibkan itu masih kita sebut sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyulitkan.

Ketiga: Jika kita punya uang/harta, maka  “zakat”  yang wajib kita keluarkan hanya 2,5%. Sementara sisanya bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan pribadi kita. Dan itupun tidak serta merta harus kita keluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat baru dilaksanakan  jika “hisab dan nasabnya” masih sudah terpenuhi.

Ke-empat: Allah memang mewajibkan kita untuk menunaikan ibadah “Haji”. Akan tetapi kewajiban itu hanya berlaku bagi mereka yang mampu atau yang memiliki ongkos untuk melaksanakannya; dan itupun harus pula disertai dengan kondisi lainnya seperti masalah kesehatan; jaminan keamanan; tersedianya angkutan lain sebagainya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka kewajiban itu boleh ditinggalkan. 

Hitungan-hitungan di atas mungkin terlalu naïf untuk dijadikan sebagai contoh kasus. Akan tapi itulah kenyataannya, bahwa sekalipun manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah sebagaimana Firman-Nya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah kepada)-Ku.” (Q.S.Adz-Dzariyaat: 56); Allah Ta’ala telah memberikan “porsi” atau “waktu” yang lebih banyak untuk “urusan dunia” yang kita lakukan (sebagai bagian ibadah yang tidak diwajibkan) daripada urusan “ibadah yang diwajibkan-NYA”.

Adapun tentang “larangan Allah” kepada manusia dalam beberapa keadaan, pada hakikatnya Allah tidak bermaksud untuk menghalangi manusia dari kesenangan duniawinya. Hal itu semata-mata adalah untuk kemashlahatan atau kebaikan manusia itu sendiri; Baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kepentingannya sebagai “makhluk sosial” sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman-Nya:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 219)

“Islam itu adalah agama yang mudah lagi dimudahkan”  tapi bukanlah untuk “dimudah-mudahkan” sebagaimana yang banyak terjadi dan kita saksikan sendiri pada waktu sekarang ini. Bahwa banyak orang yang “menggampangkan” urusan kewajibannya kepada Allah demi kepuasan nafsu dan kepentingan diri dan dengan berbagai alasan yang sengaja dicari-cari untuk maksud dan tujuannya tersebut. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa “bukan kita lagi yang wajib menyesuaikan diri dengan ajaran Islam, melainkan  ajaran Islam itulah yang wajib  menyesuaikan diri dengan kehendak kita”.

Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang “mempermudah” urusan agama yang sejak awal memang telah “mudah dan dimudahkan” oleh Allah Ta’ala. Wallahua’lam

Bagansiapiapi,  6 Dzulqaidah  1436 H  /  21 Agustus 2015
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 14 August 2015

MERDEKA DALAM ISLAM



Oleh: KH Bachtiar Ahmad
=====================
Kita baru saja merayakan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 70 pada tanggal 17 Agustus 2015 yang lalu. Bendera dan umbul-umbul pun masih banyak terpasang dan dikibarkan di semua pelosok negeri. Akan tetapi jika kita bicara tentang merdeka atau kemerdekaan, maka sesungguhnya tak ada satupun agama atau paham lain yang lebih menghargai dan menghormati kemerdekaan daripada ajaran Islam yang kita yakini. 

Dalam hal  kemerdekaan phisik, penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh manusia atas manusia; maka  sejarah telah mencatat, Islamlah yang pertama kali mencanangkan kebebasan dan kemerdekaan manusia dari alam penjajahan dan perbudakan tersebut. Begitu juga dalam hal kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak kaum perempuan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat; berbangsa dan bernegara.  Bahkan Islam jualah yang memiliki prinsip kebebasan atau memberi kemerdekaan kepada manusia untuk memilih agama menurut keyakinannya masing-masing; sekalipun Islam adalah satu-satunya agama yang diakui oleh Allah sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya:

Tidak ada paksaan untuk (masuk atau menganut) agama Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut   dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendangar lagi Maha Mengetahui”. ( Q.S.Al-Baqarah 256 )

Namun demikian, kemerdekaan dan kebebasan di dalam Islam tidak hanya bersifat phisik belaka. Kemerdekaan dan kebebasan di dalam Islam lebih diutamakan pada pengendalian diri terhadap tekanan dan ajakan hawa nafsunya. Sehingga walaupun secara phisik dia mendapat tekanan dan paksaan dari pihak lain, tapi di sisi lain dia bisa mengendalikan diri dari pengaruh hawa nafsunya dan menjalani kehidupannya dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya; maka orang yang seperti inilah yang disebut sebagai orang yang bebas dan merdeka.

Oleh sebab itu seseorang yang mengaku Islam atau “muslim” yang merdeka,  harus siap menghadapi dan menerima  kenyataan hidup yang pahit sekalipun, demi menegakkan keadilan dan kebenaran yang hakiki sesuai dengan hukum-hukum Tuhan-nya; Allahu Rabbul Jalilul Kariim.   Seorang muslim yang merdeka harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakatnya, sekalipun hal itu secara lahiriah akan merugikan dirinya, sebagaimana yang ditegaskan Allah di dalam Kitab-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah. Menjadi saksi dengan adil .Dan janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”    (Q.S. Al-Maa-idah  8)

Juga dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Maha Melihat.”   (Q.S.An-Nissa’  58)
                               
Dan tentu saja ia berkewajiban melaksanakan perintah Allah seperti; sholat; puasa; zakat; haji, tidak memakan hak orang lain dengan cara yang bathil; tidak menyalah gunakan jabatan atau kekuasaan dan mampu melakukan kebajikan-kebajikan lainnya untuk kepentingan masyarakat; bangsa; negara dan agamanya.

Inilah beberapa prinsip kemerdekaan dan kebebasan hidup dalam Islam dalam rangka memelihara hak asasi manusia.  Sedangkan penegakan prinsip-prinsip kemerdekaan tersebut tidak hanya dibebankan kepada satu kelompok atau golongan saja, akan tetapi wajib bagi setiap orang; Baik laki-laki maupun perempuan.

Semoga kita termasuk golongan hamba-hamba yang merdeka dalam pandangan Allah Ta’ala.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 28 Syawal 1436 H / 14  Agustus  2015
KH. Bachtiar Ahmad
 

Friday 7 August 2015

SEMUA PUNYA KESEMPATAN

oleh: KH.Bachtiar Ahmad
====================
Jika kita lihat dengan mata telanjang, maka perbedaan dan keragaman yang ada di dalam  kehidupan ini  adalah semacam “paradoks”. Artinya adalah, bahwa perbedaan dan keragaman yang ada seolah-olah menunjukkan Allah Ta’ala tidak berlaku adil kepada makhluk-Nya. Padahal sebaliknya, justru melalui perbedaan dan ragam kehidupan itulah Allah meletakkan neraca keadilan-Nya. Sementara di sisi lain, maka hanya dengan adanya perbedaan dan keberagaman itulah  itulah manusia dapat semaksimal mungkin melaksanakan semua perintah Allah  dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini contoh yang paling sederhana adalah; Andai saja semua manusia dijadikan berwajah sama, tentulah kita tak mungkin dapat saling berkenalan dan bersilaturahmi dengan baik.             Andai saja semua manusia dijadikan Allah sebagai orang kaya dan berkedudukan tinggi; Lalu siapakah yang harus bertani; dan siapa pula yang menjadi pedagang dan lain sebagainya.

Satu hal yang patut kita maklumi adalah, bahwa kendati manusia diciptakan Allah dengan beraneka ragam perbedaan, namun setiap orang diberi kesempatan dan peluang dalam perlombaan mencapai garis finish untuk mendapatkan penghargaan dan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala. Dengan kata lain, bahwa jika kehidupan ini di-ibaratkan sebagai suatu perlombaan marathon dan para peserta lombanya berada di garis start yang berbeda-beda, maka siapapun orangnya; tak pandang apakah ia adalah seorang yang gagah lagi tampan ataupun yang berwajah buruk; yang tinggi ataupun yang pendek; yang kaya maupun yang miskin; pejabat ataupun rakyat jelata; semuanya punya kesempatan untuk sampai di garis finish yang Allah beri nama “taqwa” sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Firman-Nya:

 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah, ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Menge-tahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)
           
Oleh sebab hal yang demikian itulah, jika di dalam kehidupan dunia ini kita tidak punya kesempatan, atau kalah dalam setiap pertandingan dan perlombaan kehidupan, maka sudah seharusnyalah kita tak perlu berkecil hati. Sebab bagaimanapun juga, peluang kita untuk sampai di garis finish atau mendapatkan tempat dan kedudukan yang lebih baik di sisi Allah masih ada, jika kita mau memanfaatkan segala macam fasilitas yang telah diberikan Allah kepada  kita. Walaupun secara kasat mata apa yang ada dan apa yang kita miliki, tidaklah sama dengan apa yang diberikan Allah Ta’ala kepada saudara-saudara kita yang lain.

Hendaklah kita sadari, bahwa segala macam perbedaan itu memang sengaja  Allah ciptakan sebagai salah satu bahan ujian yang wajib kita jalani. Untuk hal itulah Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.”   (Q.S. Al-An’aam: 165)

Sedangkan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menegaskan:

 “dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Q.S. Al-Maa-idah: 48)

Oleh karena sekali lagi diingatkan, jika kita tidak punya kesempatan atau peluang untuk  meraih tempat terhormat di dunia yang fana ini, jangan pernah cemas atau merasa rugi. Sebab selagi hayat masih dikandung badan, dengan berbekal iman dan takwa yang dimiliki, peluang kita untuk meraih dan mendapatkan tempat terhormat di sisi Allah SWT masih ada.

Mudah-mudahan kita semua berhasil menjadi peserta lomba yang sampai di garis finish yang bernama “taqwa” tersebut dengan sebaik-baiknya. Aamiin ya robbal ‘alamiin.
Wallahua’lam.

Jakarta, 21 Syawal 1436 H / 7 Agustus 2015

KH.Bachtiar Ahmad

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.