Friday 24 February 2012

NIKMATI DULU SENGGAMANYA...


Salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang bernama Rifa’ah Al-Qardhi menceraikan isterinya dengan talak tiga. Kemudian mantan isterinya itu dinikahi oleh Abdur-Rahman bin Zubir. Oleh karena kurang “sreg” dengan suami barunya, maka perempuan itu lalu datang menghadap Rasulullah SAW untuk "curhat" dan berkata:

“Wahai Rasulullah, dulunya aku adalah isteri Rifa’ah, tapi ia menceraikan aku dengan talak tiga. Kini Abdur-Rahman bin Zubair menikahiku, namun demikian ya Rasulullah saya kurang berkenan padanya, sebab saya mendapat kabar alat vitalnya tidaklah lebih besar dari rumbai ini (perempuan itu menunjukkan rumbai jilbabnya).”

Pada saat perempuan itu bicara dengan Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq berada di sisi Rasulullah SAW, sementara itu Khalid bin Sa’id sedang berdiri di depan pintu kamar menunggu izin masuk bertemu Rasulullah SAW, dan ketika Khalid mendengar semua ucapan “mantan isteri” Rifa’ah tersebut.  Khalid berkata dengan suara lantang kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, tidakkah sebaiknya engkau cegah perempuan itu bicara yang tidak etis di hadapan Rasulullah SAW.”

Mendengar ucapan Khalid tersebut Rasulullah SAW hanya tersenyum, beliau lalu berkata kepada “janda” Rifa’ah tersebut: “Sepertinya engkau ingin kembali lagi kepada Rifa’ah, tentunya hal itu tidak boleh terjadi sebelum engkau menikmati senggamanya Abdullah dan Abdullah menikmati bersenggama denganmu.” Wallahua’lam.

(Diedit dari Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Aisyah r.a dan Urwah r.a)

Bagansiapiapi, 01  Rabi’ul  Akhir  1433 H  /  24  Pebruari  2012
KH.BACHTIAR  AHMAD

Wednesday 22 February 2012

JANGAN MENYERAH KEPADA TAKDIR


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
                           “(jawaban ringkas untuk seorang sahabat)”
Secara umum makna kata takdir yang berakar dari kata qadar adalah ketetapan atau ketentuan yang telah ditetapkan Allah.” Artinya, segala sesuatu yang ada telah ditetapkan Allah dengan ketentuan-Nya. Baik ukuran; bentuk; masa; aturan-aturan yang berlaku dan lain-lain sebagainya yang berhubungan dengan keadaan sesuatu (makhluk) yang diciptakan Allah.  Jadi  apa saja yang terjadi di alam semesta ini, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Allah sebagai “Penguasa Tunggal” yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang tidak terbatas. DIA-lah yang mengatur ada dan tiada; hidup dan mati; susah dan senang; tinggi dan rendah; serta keadaan-keadaan lainnya dari semua makhluk yang di-ciptakan-Nya, yang secara tersurat dan tersirat dinyatakan Allah dengan firman-NYA:

“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rezki kepada siapa saja yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)."
(Q.S. Ali 'Imraan: 26-27)

Pada dasarnya ada (2) dua macam takdir atau ketentuan Allah yang harus kita hadapi: Pertama adalah takdir yang sudah nyata keadaannya seperti terjadinya malam dan siang; kematian yang sudah pasti datang; rasa lapar dan kenyang serta hal-hal lainnya yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang kedua adalah sesuatu yang ghaib bagi kita, misalnya saat datangnya kematian (masalah umur) dan kelahiran; masalah rezeki; jodoh dan lain sebagainya.

Sebagai orang yang beriman tentunya kita wajib yakin dengan masalah takdir ini, sebab ia merupakan bagian dari 6(enam) rukun iman.  Akan tetapi walaupun demikian keadaannya, kita tentu saja tak  boleh tunduk begitu saja kepada takdir yang telah ditentukan Allah sebagaimana yang diajarkan oleh kaum “jabariah” yang menyatakan bahwa kita (manusia) adalah musayyar” (hanya tunduk pada perintah dan melakukan apa saja yang telah ditakdirkan Tuhan).  Padahal di sisi lain kita tak tahu apa sebenarnya yang telah dituliskan atau yang ditakdirkan Allah untuk kita. Namun demikian patut pula diingat, bahwa walaupun manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya oleh Allah dan dibekali dengan kekuatan; akal; ilmu; bakat dan lain sebagainya untuk berusaha dan berkarya, maka tidak pula itu berarti dirinya mampu dan berkuasa merubah takdir yang telah ditetapkan untuknya. Karenanya tepatlah apa yang dikatakan dalam pepatah kehidupan kita: “manusia hanya berusaha dan  Tuhan jualah yang menentukannya.”

Sebenarnya upaya-upaya yang kita lakukan dalam kehidupan yang kita lalui ini hanyalah semacam usaha untuk pindah atau lari dari satu takdir ke takdir yang lain; khususnya terhadap sesuatu yang ghaib yang telah ditetapkan Alllah untuk kita. Sebab adakalanya seseorang berusaha untuk melakukan kebajikan, tapi pada akhirnya ia terjerembab dalam keburukan. Begitu pula sebaliknya ada orang yang bergelimang dengan keburukan, tapi pada akhirnya ia menjadi orang yang  penuh dengan kebajikan. 

Salah satu contoh yang sering dikemukakan dalam hal ini adalah riwayat bagaimana Umar bin Khattab r.a  dan rombongannya menghindar dari sebuah kampung yang sedang diserang wabah penyakit. Ketika ditanyakan kepada beliau mengapa harus menghindar dari suatu hal yang sudah ditakdirkan Allah, Umar menjawab bahwa ia tidak lari dari takdir Allah, melainkan pindah dari sesuatu yang ditakdirkan Allah kepada takdir Allah yang lain. Artinya adalah, bahwa dirinya berupaya menghindar dari segala sesuatu yang sudah jelas buruk kepada sesuatu yang nyatanya masih baik. Kalau usaha semacam itu sudah dilakukan, berlaku juga sesuatu yang buruk ke atas dirinya, maka jelaslah sudah bahwa yang berlaku adalah kehendak Allah SWT. Sebaliknya jika ia berada dalam keadaan baik sebagaimana yang dipilihnya, maka hal ini juga merupakan pertolongan dan kehendak Allah SWT sebagaimana yang tersirat di dalam firman-Nya:                  

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”  (Q.S.Ar-Ra’d: 11)

Jadi dalam hal ini Umar tidaklah menyerah begitu saja sebagaimana  yang diperbuat oleh orang-orang yang bodoh, yang menyerah begitu saja pada keadaan yang ada.

Contoh lain adalah rasa lapar yang dirasakan oleh orang yang  belum makan. Dalam hal ini  rasa lapar adalah merupakan salah satu ketentuan yang juga sudah ditetapkan (ditakdirkan) oleh Allah. Lalu apakah rasa lapar itu bisa hilang begitu saja jika kita tidak berusaha mendapatkan makanan dan kemudian menyantapnya? Nah demikianlah keadaannya, bahwa kita lari takdir lapar kepada takdir kenyang dengan suatu usaha yang dilakukan.  Dalam hal ini jika terjadi sesuatu yang berada di luar jangkauan akal sehat kita, misalnya seseorang yang sudah makan banyak tapi tetap saja lapar, maka hal itu adalah juga salah satu hal yang telah ditakdirkan Allah kepadanya. Sebab pada kondisi tertentu ada hal-hal yang berlawanan dengan jalan pikiran kita, yang kesemuanya itu ada dalam pengetahuan Allah Yang Maha Berkuasa atas makhluk-Nya, sebagaimana yang tersirat pula dalam firman-Nya:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Q.S.Al-Baqarah: 216)

Oleh sebab itu janganlah menyerah begitu saja dengan apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita saat ini. Kita harus terus berusaha selagi nyawa masih dikandung badan. Kata orang: “Nasib sabut pastilah timbul, nasib batu pasti tenggelam.” Akan tetapi kalau Allah berkehendak, batu bisa jadi timbul dan terapung seperti sabut dan juga sebaliknya sabut bisa tenggelam seperti halnya  sebongkah batu. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,    29  Rabi’ul Awwal  1433 H /   22 Pebruari   2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Sunday 19 February 2012

ISLAM: “Agama yang mudah lagi dimudahkan”


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Allah SWT memang menciptakan manusia dengan tujuan untuk hanya beribadah dan menyembah kepada-Nya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur.an:

“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” 
(Q.S. Adz-Dzariyaat: 56)

Dan oleh sebab hal yang demikian itulah Allah SWT telah menetapkan “syariat-Nya” sebagai acuan “ibadah” yang harus ditunakan; Baik yang berhubungan langsung dengan-Nya atau yang kita sebut sebagai “ibadah mahdah atau hablumminallah”, maupun yang berkaitan dengan hubungan antar sesama yang disebut “muamalah atau hablumminannaas”.

Akan tetapi walaupun demikian keadaannya, bagi orang yang mau memahami dengan sungguh-sungguh tentang apa yang telah disayariatkan itu, tentulah akan menemukan bahwa: “Islam itu adalah agama yang mudah dan dimudahkan”.

Allah SWT berfirman:  “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”  (Q.S. Al-Hajj: 78)

“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (Q.S. Thaa-Haa: 2)

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya agama ini adalah agama yang mudah, dan tidaklah seseorang itu melampaui batas dalam menjalankan agama ini kecuali akan kalah dengan sendirinya. Oleh karena itu berusahalah untuk mengamalkan agama ini dengan benar, dan kalau tidak bisa sempurna, maka berusahalah untuk mendekati kesempurnaan. Dan bergembiralah kalian dengan pahala bagi kalian yang sempurna walau pun amalan kalian tidak sempurna. Dan upayakan menguatkan semangat beribadah dengan memperhatikan ibadah di pagi hari dan di sore hari dan di sebagian malam (yakni waktu-waktu di mana kondisi badan sedang segar untuk beribadah). (HR. Al-Bukhari; An-Nasa’I; Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a)

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Kemudahan dan keringanan atau yang disebut sebagai “rukhsah” yang diberikan Allah SWT untuk menjalankan apa-apa yang telah ditetapkan dan yang diwajibkan-Nya itu, tidak hanya berlaku dalam keadaan ”darurat”, tetapi juga ada dalam keadaan biasa. Sebagai contoh, mari kita pahami dan renungkan sejenak tentang beberapa “ibadah” yang  telah diwajibkan-Nya kepada kita dan berhitung dengan waktu kehidupan yag telah Allah anugerahkan kepada kita. Mana yang lebih banyak, untuk ibadah kepada Allah atau untuk kepentingan kita secara pribadi?

Pertama: Dalam sehari semalam waktu kehidupan yang diberikan Allah kepada kita adalah 24 jam atau selama 1440 menit. Kemudian Allah telah mewajibkan kita untuk melaksanakan “sholat” sebanyak 5 kali dalam sehari semalam. Berdasarkan hitungan akal sehat, maka   “sholat” yang diwajibkan kepada kita tersebut, untuk setiap kalinya mulai dari “thaharah” sampai dengan berakhirnya “sholat”  yang hanya 2 sampai 4 raka’at itu, lamanya sholat yang diwajibkan tersebut paling banyak 15 menit. Dan itu berarti total waktu sehari semalam yang terpakai untuk melaksanakan sholat yang Allah wajibkan hanyalah 75 menit, atau hanya kurang lebih 5% dari total waktu yang Allah berikan kepada kita. Akan tetapi nyatanya tetap saja kita merasa berat dan sulit, padahal waktu yang diberikan Allah kepada kita untuk urusan lainnya jauh lebih banyak.

Kedua: Dalam setahun hidup yang kita jalani berjumlah 365 hari. Dan Allah SWT hanya mewajibkan kita “puasa” 29 atau 30 hari, itupun tidak mutlak 24 jam dalam sehari semalam yang kita jalani. “Puasa” yang diwajibkan hanya berkisar antara 14-16 jam dalam sehari semalam. Alangkah ironisnya jika hal itu masih kita sebut sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyulitkan.

Ketiga: Jika kita punya uang/harta senilai 100 juta, maka “zakat”  yang wajib kita keluarkan hanya 2,5% atau 2,5 juta. Sementara sisanya bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan pribadi kita. Dan itupun tidak serta merta harus kita keluarkan zakatnya, atau dengan kata lain; Bahwa Allah SWT hanya mewajibkan kita untuk mengeluarkan zakat dari uang/harta yang 100 juta tersebut, setelah kita kurangi dengan hutang piutang yang harus kita lunasi, jika “hisab dan nasabnya” masih terpenuhi. Sungguh suatu kemudahan bagi pemilik harta yang selalu merasa berat untuk mengeluarkan zakatnya.

Ke-empat: Walaupun Allah telah mewajibkan “Haji”, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak dan harus ditunaikan dengan begitu saja. Kewajiban melaksanakan “Haji” tidak cukup hanya dengan memiliki harta/ongkos  saja, akan tetapi juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti  kesehatan; jaminan keamanan; pelayanan dan lain sebagainya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka kewajiban itu boleh ditinggalkan dan diabaikan sampai semuanya lengkap terpenuhi. 
Mengacu pada beberapa “penjelasan” di atas, maka tentulah kita paham bahwa sesung-guhnya agama Islam adalah “agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan”.  Akan tetapi disinilah letak masalahnya, bahwa dengan pemahaman tersebut makin banyak orang yang salah paham dan meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya,  sehingga “dengan dorongan hawa nafsunya” mereka lalu mencari dan membuat alasan untuk dan sebagai “pembenaran”. Mereka beranggapan bahwa hal itu adalah  “masalah khilafiyah” atau mereka akan mengatakan; “Lebih baik begitu daripada tidak berbuat sama sekali” atau “Semuanya tergantung niatnya”

“Islam itu adalah agama yang mudah dan dimudahkan”  tapi bukanlah untuk “dimudah-mudahkan”. Hal ini terlihat dari beberapa fenomena yang ada di masa sekarang ini (khususnya yang terjadi pada kaum muslimin di negeri yang kita cintai ini); Bahwa demi kepuasan nafsu dan kepentingan diri dan dengan berbagai alasan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ada indikasi bahwa “bukan kita lagi yang wajib menyesuaikan diri dengan ajaran Islam, melainkan kita paksakan agar ajaran Islam itulah yang wajib  menyesuaikan diri dengan kehendak kita”. Hal tersebut telah memberi isyarat, bahwa seakan-akan kitalah yang menjadi pemilik syariat; bukan Allah SWT. Karenanya banyak orang yang  lebih cenderung dan selalu  memilih pendapat yang menurut dirinya enak dan nyaman untuk dilaksanakan, walaupun tidak mempunyai dasar dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Naudzubillahi min dzalik!

Semoga sedikit catatan yang disampaikan ini dapat membuka dan memperluas cakrawala pemikiran dan pemahaman kita terhadap “agama Allah” yang sangat-sangat kita yakini kebenaran dan keabsahannya. Dan tentunya sangat besar harapan kita; bahwa dengan hidayah dan inayah-NYA,  keimanan dan ketakwaan kita kian sempurna. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  26  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  19  Pebruari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD

Thursday 16 February 2012

DAKWAH DAN HAHA… HIHI… (Jawaban Kedua)


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
========================
Ada beberapa komentar yang disampaikan untuk menanggapi tulisan/foto yang saya muat di FB dengan judul “Dakwah dan Haha… Hihi…”. Selanjutnya melalui catatan/tulisan ini, saya ingin berbagi pendapat “sebagai jawaban” atas komentar-komentar tersebut.  Akan tetapi mengingat “keterbatasan” yang ada, maka “jawaban” tersebut saya sajikan dalam 2(dua) buah catatan/tulisan. Dan mohon maa’f jika “jawaban” tersebut kurang lengkap dan sempurna sebagaimana yang di-inginkan.

TENTANG LAWAKAN DAN MELAWAK  DALAM ISLAM.

Islam itu adalah agama yang mudah lagi dimudahkan (insya Allah akan kita bahas kemudian). Oleh sebab itulah tidak ada larangan bagi kita untuk “bercanda” atau “melawak” sebagai bagian dari upaya untuk menghibur hati. Akan tetapi satu hal yang patut diperhatikan adalah, bahwa  “canda ria” atau “lawakan” tersebut hendaklah dilakukan dalam batas-batas yang wajar, sebab canda ria atau lawakan yang dilakukan secara berlebih-lebihan pada akhirnya juga membuat kita akan tertawa berkepanjangan. Suatu hal yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam “Jawaban Pertama”.

“Bercanda ria” untuk menyegarkan suasana (tentunya dalam batas-batas yang wajar) adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan manusia, hal ini dapat kita baca/lihat dalam beberapa Hadis Nabi SAW yang telah diriwayatkan kepada kita; Bahwa Rasulullah SAW pernah bersenda gurau dengan para sahabat yang membuat beliau tersenyum lebar, sehingga para sahabat bisa melihat gigi-gigi geraham beliau.  “Abdullah bin Abbas r.a” berkata; “Bagaimana pun juga yang menjadikan manusia tertawa dan menangis adalah Allah SWT.” (Insya Allah akan saya petikkan beberapa Hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan “canda ria atau senda gurau”  Rasulullah SAW pada kesempatan berikutnya)

Selama “canda ria; senda gurau atau melawak” itu dilakukan dalam batas-batas kewajaran, tidak menghilangkan wibawa atau merendahkan martabat seseorang dan tidak pula menjadikan dirinya “tertawa” terbahak-bahak atau berlebihan, maka hal itu adalah dibolehkan dalam agama (Islam).

As-Syaikh DR. Yusuf Qardhawi; salah seorang ulama dan pakar Islam masa kini menjelaskan, bahwa paling tidak ada 5(lima) adab atau etika yang perlu dipatuhi dalam “melawak atau bercanda”

Pertama:  Tidak berbohong atau berdusta atau mengarang-ngarang cerita dalam melawak atau bercanda. Hal ini disebdakan oleh Rasulullah SAW: “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya (pembicaraannya tersebut) orang banyak akan jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Sedang dalam riwayat lain dijelaskan bahwa ketika para sahabat bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau bersenda gurau dengan kami.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ya aku bergurau tetapi aku tidak berkata melainkan perkara yang benar. (HR. At- Tirmidzi Dan Ahmad r.a)

Kedua: Senda gurau atau canda ria tidak boleh bersifat hinaan atau cacian  terhadap orang lain, kecuali jika di-izinkan oleh orang tersebut. Akan tetapi menghindari keadaan yang demikian adalah lebih wajib dan lebih layak untuk dilakukan karena Allah SWT telah menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan; seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”  (Q.S. Al-Hujuraat: 11)

Termasuk dalam kategori menghina dan mengejek adalah dengan cara meniru perbuatan orang lain, sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW: “Sungguh aku tidak suka meniru perbuatan orang lain.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi r.a)

Ketiga:  Canda ria atau lawakan tidak boleh menakutkan atau menakut-nakuti orang lain. lain. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nukman bin Basyir r.a: “Sesungguhnya kami bersama Rasulullah SAW dalam satu perjalanan.  Seorang lelaki mengantuk di atas tunggangannya. Seorang lelaki yang lain mengambil anak panah dari busurnya (dengan maksud bercanda) hingga lelaki yang mengantuk itupun terkejut dan terperanjat. Rasulullah SAW lalu bersabda: “Haram bagi seorang lelaki menakutkan orang Islam.” (HR. At-Thabrani)

Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad r.a dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu mengambil barang kepunyaan saudaramu baik dengan niat bercanda atau pun dengan niat sungguh-sungguh untuk mengambilnya.” (HR. Imam Ahmad r.a)

Keempat: Jangan bercanda atau bersenda gurau dan melawak ditempat yang di dalamnya hanya dibicarakan hal-hal yang serius dan benar seperti di dalam Masjid atau di dalam Majelis-Majelis yang di dalamnya orang banyak melakukan dzikrullah (mengingat Allah); baik dalam bentuk pembacaan Al-Qur’an atau kalimat-kalimat thoyyibah maupun majelis belajar dan mengajar. Dalam hal inilah Allah sangat mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengar dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Hal ini secara tersirat dan tersurat Allah SWT berfirman:

“Ini (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang terdahulu.// Telah dekat terjadinya hari kiamat.// Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.//  Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?// Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?// Sedang kamu melengahkan(nya)?// Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (Q.S. An-Najm: 56-62)

Kelima:  Senda gurau; canda ria atau lawakan yang dilakukan harus dalam batas-batas yang wajar; tidak berlebihan-lebihan hingga menimbulkan gelak tawa yang berkepanjangan. Sebab sebagaimana yang telah dijelaskan dalam “Jawaban Pertama” Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa bisa mematikan hati.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah r.a)

Apa yang diucapkan oleh Rasulullah SAW tersebut bukanlah sesuatu yang “musykil”, sebab dengan akal sehat kita sendiri bisa merasakan dan mengalaminya; Bahwa ketika kita merasa senang dan tertawa terbahak-bahak, maka di sa’at itulah kita “lupa” pada banyak hal,  dan yang paling utama adalah lupanya kita pada  Allah SWT. Na’udzubillaahi min dzalik !

Kata Ali bin Abi Thalib r.a: “Bersenda guraulah kalian, dan masukkanlah senda gurau tersebut di dalam kata-kata kalian sebagaimana kalian memasukkan sekadar garam ke dalam setiap masakan dan makanan kalian.”

Mudah-mudahan penjelasan singkat ini bermanfaat untuk menambah dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT.  Wallahua’lam.

Bagansiapiapi, 22 Rabi’ul Awwal 1433 H / 15  Pebruari  2012
KH.BACHTIAR AHMAD


Monday 13 February 2012

DAKWAH DAN HAHA… HIHI… (Jawaban Pertama)


oleh: KH.BACHTIAR  AHMAD
========================
Ada beberapa komentar yang disampaikan untuk menanggapi tulisan/foto yang saya muat di FB dengan judul “Dakwah dan Haha… Hihi…”. Selanjutnya melalui catatan/tulisan ini, saya ingin berbagi pendapat “sebagai jawaban” atas komentar-komentar tersebut.  Akan tetapi mengingat “keterbatasan” yang ada, maka “jawaban” tersebut saya sajikan dalam 2(dua) buah catatan/tulisan. Dan mohon maa’f jika “jawaban” tersebut kurang lengkap dan sempurna sebagaimana yang di-inginkan.

TENTANG NIAT dan TERTAWA:
“Amal itu tergantung niatnya” demikianlah yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis beliau. Maka berdasarkan hadis tersebut ada yang berpendapat, bahwa “haha..hihi atau melawak” dalam dakwah dianggap hal yang boleh-boleh saja. Kata mereka: “yang pentingkan nawaitunya”.

Pendapat yang demikian bisa dibenarkan jika “nawaitunya” tidak bercampur dengan sesuatu yang “tidak disukai” atau sesuatu “yang sangat dibenci” oleh Allah dan Rasul-NYA. Atau dengan kata lain; “mencampurkan yang hak dengan yang bathil”, suatu perbuatan yang secara tegas dilarang oleh Allah SWT dengan firman-NYA:

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 42)

Kita tentu sudah paham dan mengetahui, bahwa “berdakwah adalah kewajiban  setiap mukmin”  dalam rangka melaksanakan “amar ma’ruf nahi mungkar” yang diperitahkan Allah SWT, walaupun hanya sekadar “menyampaikan satu ayat”  sebagaimana yang disuruh oleh Rasulullah SAW.

Sementara itu “tertawa” adalah perbuatan yang walaupun dibolehkan, tapi sangat-sangat tidak disukai oleh Allah SWT sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dengan firman-NYA:

“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”  (Q.S. At-Taubah: 82)

Rasulullah SAW dalam sebuah hadis lagsung ataupun tidak langsung, juga melarang kita (banyak) tertawa sebagaimana yang diriwayatkan:

"Janganlah kalian banyak tertawa, karena hal itu dapat mematikan hati." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jadi dengan demikian tentulah tidak bisa kita sandingkan niat untuk “dakwah dan tertawa” dengan begitu saja, mengingat yang satu adalah “hak” dan yang satunya bisa digolongkan pada perbuatan “bathil” lantaran tidak begitu disukai Allah dan Rasul-Nya.

Kita bukan “berburuk sangka”, bahwa ketika diundang untuk berdakwah atau berceramah, maka boleh jadi “sang da’i” sudah merancang lebih dulu bagaimana ia harus  membuat “lawakan” agar pendengarnya bisa tertawa dan suka pada “ceramahnya”. Sementara orang yang datang untuk mendengar, boleh jadi datang bukan lantaran tertarik untuk mendengar ceramah “sang da’i” melainkan hanya karena “sang da’i” pintar “melawak dan melucu” atau mungkin karena “popularitas” si pendakwah. Nah, jika “asumsi” di atas benar, maka tentulah “nawaitunya” sudah tumpang tindih, bahkan salah sama sekali. Padahal niat itu harus jelas dan tegas dan tidak boleh ada dua niat dalam satu pekerjaan.

Contoh yang sederhana adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis yang lain; Bahwa hijrah itu hanya karena Allah atau karena perempuan. Tidak ada hijrah karena Allah untuk mendapatkan perempuan. Analoginya adalah; Kalau karena Allah, maka tentulah Allah akan membalasnya dengan segala macam kebaikan yang dijanjikan-NYA. Dan jika karena perempuan, maka Allah hanya akan memberikan perempuan itu baginya.

Sebuah “majelis dzikrullah” ; majelis yang di dalamnya kita membicarakan yang hak dengan yang bathil; majelis yang di dalamnya kita banyak mengingat Allah dan membicarakan ajaran-ajaran Rasul-Nya; sebagaimana yang  disebutkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis adalah sebagai bagian dari “Taman Surga”,  dimana selama “majelis” itu berlangsung “para Malaikat” akan terbang mengelilingi mereka yang ada di dalamnya dan terus menerus memohon ampunan Allah bagi mereka. Lalu ketika orang-orang yang ada di dalamnya lebih banyak tertawanya; bahkan sampai terbahak-bahak mengeluarkan air mata; Apakah masih dapat kita sebut sebagai “Taman Surga”; Apakah para Malaikat masih mau mendo’akan mereka yang ada di dalamnya?  Wallahua’lam.
(Insya Allah bersambung)

Batam, 20 Rabi’ul Awwal 1433 H / 13  April  2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Saturday 11 February 2012

DAKWAH dan HAHA… HIHI…


Mau disebut sebagai “pelawak” barangkali kurang tepat, sebab materi inti yang ia sampaikan adalah hal-hal yang berkaitan dengan “syari’at” Mau disebut sebagai “pendakwah” rasanya kurang pas, sebab dalam penampilannya ia lebih banyak “melawak”. Lalu iapun berkata: “Mohon dimaklumi, bahwa yang saya lakukan ini adalah DAKWAH SYI'AR bukan DAKWAH SYARI'AT..."   

Allah SWT berfirman:
 “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain daripada Allah. dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya; Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (QS. Al-An’aam: 70)

Syaikh Abdullah Al-Ghazali menjelaskan, bahwa  makna dari  “menjadikan agama sebagai main-main dan senda gurau” tidak hanya berupa perbuatan memperolokkan agama dengan cara mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan Allah secara  main-main dan tidak sungguh-sungguh. Akan tetapi termasuk di dalamnya adalah menyampaikan pesan-pesan agama dengan bersenda gurau agar orang yang mendengarnya menjadi tertawa.

Abdullah Al-Ghazali juga menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW telah memperingatkan; Bahwa jika seseorang dengan sengaja berkata-kata atau membuat gerakan dengan tujuan agar orang yang mendengar atau melihatnya tertawa, maka orang tersebut akan dimasukkan ke dalam neraka. Dan berdasarkan pernyataan Rasulullah SAW tersebut Abdullah Al-Ghazali mengatakan; bahwa bagi orang-orang yang dengan sengaja menyampaikan pesan-pesan agama (syariat/hukum agama; baik yang diterangkan Allah di dalam Al-Quran maupun yang dijelaskan Nabi SAW melalui hadis-hadis beliau)  dengan cara bersenda gurau, maka tentulah hukumannya akan lebih berat lagi. 

Lalu menurut anda bagaimana. Apa memang ada yang namanya dan bedanya “DAKWAH SYI’AR dan atau DAKWAH SYARI’AT ?” Atau itu hanya sebuah upaya “pembenaran” atas apa yang  diperbuatnya? Ada yang bisa bantu nggak? Wallahua’lam

Batam, 18 Rabi’ul Awwal 1433 H / 11 Pebruari 2012.
KH.BACHTIAR AHMAD

Friday 10 February 2012

USWATUN HASANAH (Bag. Terakhir)


TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (5).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
AHLI IBADAH YANG TAK PERNAH LELAH
Walaupun sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW  telah mendapat jaminan Allah sebagai manusia yang “dima’sumkan” Allah; yang disucikan Allah dari segala dosa dan kesalahan masa lalu maupun masa yang akan datang, namun Muhammad SAW tetap beribadah layaknya seorang hamba biasa. Bahkan jauh lebih banyak dari siapapun juga. Bagi beliau ibadah; terutama sholat adalah sesuatu yang melezatkan.  Beliau biasa bangun tengah malam untuk sholat hingga kedua telapak kakinya pernah bengkak. Dan selalu menangis memikirkan nasib diri dan umat beliau, sehingga membasahi jenggotnya. Dan ketika suatu saat ditanya oleh Aisyah r.a; Mengapa beliau begitu asyik beribadah, padahal beliau telah diampuni dan mendapat fasilitas dan prioritas dari Allah SWT; Muhammad SAW  hanya menjawab: “Wahai Aisyah, apakah aku tak pantas menjadi hamba yang bersyukur”

Muhammad SAW tidak pernah merasa dirinya sebagai Nabi dan Rasul Allah yang dimuliakan, beliau tetap merasa sebagai manusia biasa yang diciptakan Allah “hanya untuk beribadah atau menyembah kepada-NYA” sebagaimana yang Allah firmankan:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzzriyaat: 56)

Sebagai hamba Allah yang seluruh hidupnya diabdikan untuk beribadah dan menyembah kepada Allah, Muhammad SAW sholat; puasa; dan selalu membasahkan lidahnya dengan berzikir; bertasbih; bertahlil; bertakbir; beristighfar serta berdo’a memohon ampunan dan ridho Allah sambil bercucuran air mata sehingga terkadang janggutnya pun basah.

Muhammad SAW beribadah kepada-NYA pada waktu malam dan siang; sambil duduk; berdiri ataupun berbaring; baik di waktu sendirian maupun dalam keadaan ramai; dalam keadaan aman maupun dalam keadaan perang; dan it uterus berlangsung hingga tiba sa’atnya “Sang Khaliq” menugaskan “malaikat maut” untuk menjemput dirinya. Semuanya itu adalah merupakan refleksi dari pengamalan perintah Allah SWT:

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat);  dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (yakni kematian).” (Q.S. Al-Hijr: 98-99)

Tak seorangpun bisa membantah, bahwa Nabi kita adalah seorang yang ma’shum. Seorang hamba yang disucikan Allah dari segala dosa dan kejahatan; Hamba yang diberi pengampunan dari kesalahan-kesalahan,  baik dimasa lampau maupun dimasa yang akan datang; Hamba yang sudah dipastikan akan masuk surga tanpa hisab, bahkan dengan disposisi (syafaat) beliau, seseorang yang durhaka dan pendosa bisa masuk surga. Akan tetapi kendati demikian, kesemuanya itu tidaklah menjadikan beliau seorang yang sombong, melainkan bertambah tawadhu’ (rendah hati) dan ta’at kepada Allah.

“Sholat” adalah ibadah yang paling beliau sukai. Sehingga selain dari sholat yang diwajibkan, maka beragam “sholat sunat” sebagaimana yang banyak diriwayatkan, nyaris tak pernmah beliau abaikan atau tinggalkan tatkala beliau berada di tempat. Bahkan “qiyamul lail” atau yang kita kenal dengan “sholat sunat di waktu malam” tak pernah beliau tinggalkan, sekalipun dalam perjalanan atau peperangan dan walaupun hanya beberapa raka’at saja. Bagi “Muhammad SAW”  sholat adalah suatu “kelezatan dan kenikmatan” tersendiri. Karena beliau tahu dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa saat  sholat;  terutama pada saat “sujud”, adalah sa’at yang paling dekat dengan Tuhan-nya; Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-NYA:

“..dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (Q.S. Al-‘Alaq: 19)

Oleh sebab itulah di dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa beliau bersabda kepada setiap orang yang menjadi “umat Muhammad SAW” untuk banyak-banyak melakukan sujud. Atau dengan kata lain, banyak-banyak mendirikan sholat sunat, selain dari sholat yang sudah diwajibkan Allah SWT.
Selain sholat beliau juga banyak melakukan puasa sunat; adakalanya Senin-Kamis; kadang puasa pertengan bulan (tanggal 13-14-15) dan atau puasa-puasa sunat lainnya. Dan tak jarang pula beliau puasa dengan dan atau tanpa niat sebelumnya, lantaran ketika pagi-pagi beliau pulang ke rumah setelah berjamaah di  Masjid, beliau tidak menjumpai sesuatu apapun yang dapat disantap sebagai sarapan pagi, maka jadilah beliau lanjutkan dengan berpuasa pada hari itu.

Membaca riwayat demi riwayat tentang bagaimana Muhammad SAW beribadah kepada Allah SWT, maka sebagai hamba Allah yang nyaris banyak melakukan dosa, sudah seharusnyalah kita merasa malu pada diri sendiri. Sebab di antara kita yang merasa sudah cukup dengan amalan dan ibadah wajib yang pas-pasan dilaksanakan;  Artinya, sholat cukup hanya lima waktu sehari semalam (itupun kalau tak malas); Puasa cukuplah sebulan dalam setahun; begitu juga dengan zakat dan haji; Tak ada upaya kita untuk melakukan hal-hal yang disunatkan, yang sebetulnya mengandung banyak keutamaan. Entah itu shalat dan puasa sunat serta berdzikir kepada-Nya. Padahal karunia Allah yang kita terima tidaklah sedikit, yang memang tak dapat kita hitung banyaknya sebagaimana yang difirmankan-Nya:

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tidaklah dapat kamu menghitungnya.”   (Q.S.Ibrahim: 34)

Padahal dibandingkan dari sisi kehidupan dan perjuangan beliau dengan kita, maka tentulah sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW lebih sibuk dan lebih capek dari kita. Disamping harus  menyampaikan risalah yang diwahyukan Allah kepada beliau; beliau juga harus menjalankan tugas sebagai seorang kepala negara; seorang panglima perang; seorang kepala rumah tangga, ayah dari anak-anaknya;  suami dari beberapa isteri yang dinikahinya; kakek dari cucu-cucunya dan sahabat serta tetangga dari orang-orang yang berada di sekitarnya.  Lalu apa dan siapa kita ?  Adakah kita lebih sibuk dari Nabi yang kita cintai itu ? Atau masih pantaskah kita disebut sebagai “umat Muhammad” ?

Sebenarnya masih banyak “keteladanan hidup” yang dapat kita pelajari dari sosok Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW yang telah Allah jadikan sebagai “uswatun hasanah” untuk kita ikuti dan aplikasikan di dalam kehidupan yang kita jalani. Akan tetapi dalam “keadaan yang serba terbatas ini” saya berharap, bahwa “sedikit” catatan yang telah saya sampaikan secara bersambung melalui media ini “banyak” manfaatnya yang telah bisa dipetik sebagai pelajaran berharga; terutama dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Semoga dengan peringatan  “Maulid Nabi SAW” tahun  ini, kita mendapatkan hidayah dan inayah Allah SWT untuk menyerap dan meneladani semaksimal mungkin “akhlaqul kariimah” Muhammad Rasulullah SAW; “Nabi yang sangat kita cintai dan muliakan” dan sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  17  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  10   Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD
 

Thursday 9 February 2012

USWATUN HASANAH (7)


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (4).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
RASULULLAH SAW DAN HARTA BENDA.
Sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidaklah “miskin” harta benda sebagaimana yang banyak disangkakan orang. Kalau beliau mau, maka Muhammad bisa minta apa saja kepada Allah. Bahkan tanpa diminta, Allah pernah menawarkan dan memberikan emas sebesar dan sebanyak gunung Uhud (menjadikan gunung Uhud sebagai  emas) untuk keperluan beliau.  Akan tetapi Muhammad SAW tetap memilih hidup dalam kesederhanaan, bahkan dapat dikatakan miskin lantaran seringkali beliau tidak pernah kenyang dalam beberapa hari. Dan selalu merasa senang, walaupun selama tiga hari berturut-turut hanya memakan roti gandum tanpa lauk pauk atau  adakalanya hanya memakan hidangan yang disebut-sebut sebagai “Al-Aswadini” yakni kurma dan air putih. Sementara dalam sebuah riwayat ada disebutkan, bahwa Umar bin Khattab r.a para sahabat lainnya pernah menangis menyaksikan beliau tidur di atas jerami tanpa alas, sehingga meninggalkan bekas di tubuh beliau.

Bagi Muhammad SAW harta bukanlah segala-galanya, oleh sebab itulah setiap kali mendapat bagian dari harta rampasan perang yang menjadi bagiannya sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, semuanya habis dibagi-bagikan kecuali hanya sedikit untuk keperluan keluarga beliau. Bahkan pernah suatu ketika, tatkala beliau sedang berjalan-jalan ada seorang perempuan yang meminta dan menarik kain (selendang) yang beliau pakai, maka dengan segala keikhlasan hatinya Muhammad SAW memberikan kain tersebut kepada perempuan tersebut seketika itu juga.

Perlakuan Muhammad Rasulullah SAW terhadap harta benda  tentu saja sangat berbeda dan sangat berlawanan dengan “akhlak” kita, yang selalu memandang bahwa harta adalah segala-galanya, dan lupa pada peringatan-peringatan Allah yang telah disampaikan kepada kita tentang “bahaya dan malapetaka” yang bisa ditimbulkan oleh harta benda. Dan tentu saja yang sangat berbahaya adalah ketika kita dilalaikannya dari mengingat Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiquun: 9)

Dan satu hal  lagi yang patut kita “camkan dan waspadai” adalah, bahwa adakalanya harta benda yang dianugerahkan Allah kepada kita bukanlah merupakan rahmat dan nikmat-Nya, melainkan merupakan salah satu “azab dunia” yang Allah timpakan kepada kita sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam firman-Nya:

“Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir.”  (Q.S. At-Taubah: 85)

Allah memang tidak melarang, bahkan menyuruh kita untuk mencari “kebahagiaan dunia”, akan tetapi yang namanya “kebahagiaan dunia” itu tidak mutlah dan tidaklah  harus selalu di-identikkan dengan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu mari kita belajar lebih banyak dari keteladanan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW (juga para sahabat) dalam masalah yang satu ini. Mudah-mudahan “berharta atau tidak berharta” nya kita dalam kehidupan di dunia yang fana ini, bukanlah persoalan yang pelik bagi kita untuk menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Semoga catatan ini bermanfaat dan insya Allah pada catatan berikutnya kita bisa belajar dari Rasulullah SAW dalam “keseharian” beliau yang lainnya. Wallahu’alam.

Bagansiapiapi,  16  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  9   Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Wednesday 8 February 2012

USWATUN HASANAH (6)


oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
=======================
TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (3).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)
sebagai kepala Negara dan Pemerintahan.
Sebagai “kepala negara dan pemerintahan” dari suatu negeri yang baru berdiri, yang  senantiasa dikepung musuh dari segala penjuru; Baik dari kalangan musyrik yang menyembah berhala; Yahudi maupun Nasrani, maka tentulah Muhammad SAW  sangat disibukkan oleh persiapan-persiapan mengatur strategi dan perlawanan terhadap musuh yang ada; Khususnya dalam rangka “Jihad Fi Sabilillah” untuk menegakkan “Kalimatullah”.  Akan tetapi betapapun sibuknya, beliau tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umat dan masyarakat banyak seperti membangun dan mengurus masjid; membangun pasar dan pusat perniagaan; menjalin hubungan bilateral dengan berbagai golongan yang tinggal menetap di Madinah dan wilayah-wilayah sekitarnya.

Kesibukan Muhammad SAW senagai “kepala” Negara dan Pemerintahan, bahkan tidak mengurangi sedikitpun perhatian beliau kepada apa yang terjadi di lingkungan “umat”, termasuk hal-hal yang kecil sekalipun seperti  suatu ketika beliau masih sempat menegur seorang perempuan yang ketahuan mengurung seekor kucing di rumahnya tanpa memberi kucing tersebut makan, sehingga akhirnya kucing tersebut mati kelaparan.
           
Beliau juga tidak marah dan merasa “gengsi dan wibawanya” sebagai pemimpin turun, lantaran suatu ketika ada seorang budak perempuan yang menarik tangan beliau tatkala beliau berjalan-jalan di kota Madinah. Dan dengan segala senang hati beliau penuhi apa yang diminta oleh budak perempuan tersebut.

Sebagai pemimpin, beliau tidak suka di-iringi oleh “ajudan” atau pengawal pribadi. Semuanya berjalan secara wajar; bebas dan lepas begitu saja. Dan setiap orang dapat menjumpai beliau kapa saja dan dimana saja pada saat beliau tidak disibukkan oleh “ibadah”  dan hal-hal yang bersifat pribadi seperti masalah keluarga dan lain sebagainya.

Beliau memberi wewenang penuh kepada para sahabat yang telah beliau angkat untuk mewakili beliau  dalam urusan-urusan tertentu. “Para pejabat” yang telah diangkat tersebut tidak perlu meminta persetujuan beliau untuk memutuskan sesuatu perkara, selama hal itu tidak bertentangan dengan “Kitabullah”. Bahkan beliau dengan segala senang hati mengikuti saran dan pendapat para sahabat, seperti saran Salman Al-Farisi untuk membuat parit sebagai benteng pertahanan yang melindungi kota Madinah dari serangan musuh; bahkan beliau sendiri ikut menggali dan mengangkat batu saat membangun parit tersebut.

Jabatan dan kekuasaan tidaklah menjadikan Muhammad SAW   lupa pada hakikat dirinya sebagai “hamba Allah yang lemah”. Beliau sadar bahwa apa yang ada pada beliau adalah semata-mata karena anugerah dan rahmat Allah  sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam firman-Nya:

“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali ‘Imran: 26)

Sebagai pemimpin Muhammad SAW benar-benar melaksanakan tugasnya dengan sebenar-benarnya dan se-adil adilnya sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dan oleh sebab itulah dalam sebuah riwayat ada disebutkan, bahwa beliau akan memotong tangan tangan Fatimah, puteri kesayangan beliau; jika puterinya itu melakukan tidak kejahatan (pencurian). Dan inilah sebuah penjabaran yang sebenarnya dari satu firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisaa’: 58)
Sebagai Panglima Perang dan Prajurit.
Sebagai “Rasul Allah” Muhammad SAW yakin sepenuhnya, bahwa dirinya selalu mendapat pertolongan dari Allah SWT. Akan tetapi walaupun kepasrahan dan ketakwakkalan beliau kepada Allah sangat kuat, beliau tetap tak mau berdiam diri begitu saja. Oleh sebab itulah dengan akal dan ilmu yang dianugerahkan Allah, Muhammad SAW tetap berupaya sebagai manusia biasa. Artinya beliau tetap mempersiapkan diri; merancang strategi perang untuk menghadapi musuhnya. Dalam setiap kesempatan beliau selalu menyatakan, bahwa bersandar pada pertolongan Allah adalah wajib hukumnya; akan tetapi berusaha dan berupaya dengan segenap daya upaya dan pikiran adalah lebih wajib. Sebab tak seorangpun dapat mengetahui perjalanan hidup dan nasib yang telah ditakdirkan Allah padanya. Dan oleh hal yang demikian ini pulalah, maka Muhammad SAW tetap mengunakan baju perang dan senjata untuk melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam satu peperangan beliau pernah menggunakan dua lapis baju besi. Dan suatu ketika pernah pula beliau terkena panah musuh; gigi beliau patah dan berdarah. Oleh sebab itulah, walaupun beliau sudah ditetapkan Allah sebagai Nabi dan Rasul-Nya;  Muhammad SAW tidak pernah merasa dirinya hebat dan lebih kuat dari orang lain.
Insya Allah masih akan terus berlanjut.  Wallahua’lam.


Bagansiapiapi,  15  Rabi’ul Awwal  1433 H  /  8  Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Tuesday 7 February 2012

USWATUN HASANAH (5)


TENTANG “KESEHARIAN” NABI YANG KITA CINTAI (2).
Ya nabii salaamun ‘alaika;  Ya rosuul salaamun ‘alaika
Ya habiib salaamun ‘alaika; Sholawaatullaahi ‘alaika

(Wahai Nabi salam kami kepadamu;   Wahai Rasul salam kami kepadamu
Wahai kekasih Allah salam kami kepadamu; Rahmat Allah semoga melimpah terus untukmu)

Muhammad SAW sebagai seorang ayah.
Sebagai seorang ayah beliau sangatlah mencintai anak-anaknya, dan senantiasa menghendaki kebaikan bagi sang anak. Baik kebaikan dunia terlebih lagi kebaikan akhirat. Dan hal ini tercermin pada sikap beliau ketika putra beliau “Ibrahim” meninggal dunia sewaktu masih bayi. Pada saat itu beliau menitikkan air mata sedih, dan para sahabat bertanya mengapa beliau sedih dan menangis, beliau lalu bersabda:

“Mata boleh mengucurkan airmata dan hati boleh bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu kecuali yang diridhai Allah.”    (HR. As-Syaikhani; Ahmad dan Abu Dawud)

Selanjutnya pada saat Ali bin Abu Thalib bermaksud hendak menikah lagi; berpoligami dan memadu puteri beliau: “Fatimah Az-Zahra” dengan putri Abu Jahal yang dilaknat Allah, maka beliau merasa gusar dan berkata kepada Ali r.a:

“Sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dari diriku dan aku khawatir ada cobaan dalam agamanya. Aku tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, tetapi demi Allah; Sekali-kali putri Rasul Allah tidaklah akan berkumpul dengan putrid musuh Allah di bawah satu atap.”   (HR. As-Syaikhani; Ahmad; Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Muhammad SAW sebagai kakek.
Walaupun kedudukan beliau  amat mulia sebagai Nabi dan Rasul Allah; Muhammad SAW tidak melupakan kodratnya sebagai seorang kakek dari cucu-cucu yang sangat dicintainya; Terutama Hasan dan Husin, putra dari puteri tersayangnya Fatimah Az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.

Banyak riwayat yang menyebutkan, bahwa dengan penuh kasih dan sayang Muhammad SAW sering bermain dan bergurau senda dengan cucu-cucunya. Dan untuk menyenangkan hati Hasan dan Husin, Rasulullah SAW sering membungkukkan badannya, agar kedua cucunya bisa naik ke pungung (bagian belakang badan) dan bermain kuda-kudaan dengan mereka. Bahkan pernah suatu ketika Hasan dan Husin  naik ke punggung Rasulullah SAW pada saat beliau sedang sholat, beliau lalu memanjangkan sujud agar cucu-cucunya tidak jatuh dan menganggu kesenangan mereka sebagai anak-anak. Dan keadaan ini telah menimbulkan bermacam-macam praduga di kalangan sahabat yang pada waktu itu sholat bersama beliau. Sehingga ketika hal itu ditanyakan, beliau menjawab:

“Sesunguhnya kedua anakku (cucuku) menjadikan aku sebagai tunggangan mereka, sehingga aku enggan untuk menghentikannya sebelum mereka puas dan turun dari atas badanku.”
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzy r.a)
           
Dalam hadis yang lain juga diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya kedua (anakku) ini adalah raihan (tetumbuhan yang harum)ku dari dunia.”
(HR. Bukhari; Ahmad dan At-Tirmidzy r.a)

Bukan hanya itu saja, Rasulullah SAW juga sangat menyayangi anak-anak lainnya, sehingga setiap kali beliau berjumpa dengan anak-anak, maka beliau selalu mengusap kepala sang anak. Dan yang istimewa adalah perhatian beliau terhadap anak-anak yatim sebagaimana yang tersirat dalam sebuah hadis:

“Antara saya dan orang yang memelihara anak yatim dengan baik, maka kelak di sorga berdekatan bagaikan dekatnya jari telunjuk pada jari tengah.”  (HR. Muslim dari Sahl bin Sa’ad r.a)
Sebagai sahabat dan tetangga.
Kedudukan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul Allah tidaklah membuat dirinya lupa untuk memenuhi hak-hak saudara; kerabat; dan para tetangga beliau. Sekalipun mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik. Bahkan dalam sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

“Sesungguhnya kalian mempunyai kaum kerabat, maka yang paling basah adalah yang selalu membuatnya basah.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy r.a)

Artinya adalah, bahwa yang paling dekat  di antara kerabat tetangga tersebut adalah mereka yang paling sering berhubungan dan saling tolong menolong, sekalipun dinilai dari pertalian darah terbilang jauh atau bahkan sama sekali tak ada hubungan darah. Dan hal ini semakin dipertegas beliau dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim r.a:
           
“Sesungguhnya Jibril senantiasa menasehatiku tetntang tetangga, sehingga aku menduga bahwa dia akan menjadikan para tetangga sebagai ahli waris. (HR. Muttafaq ‘alaihi)

Sebagai seorang sahabat dari para sahabat beliau, maka Rasululah SAW selalu berusaha untuk menyenangkan hati dan memenuhi serta menghormati hak para sahabat beliau. Dan tak akan pernah membedakan antara sahabat yang satu dengan yang lainnya, kecuali jika mereka melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Insya Allah masih ada “keseharian” Rasulullah SAW yang menjadi pelajaran untuk kita teladani dan amalkan dalam lanjutan catatan berikutnya.   Wallahua’lam.

Bagansiapiapi,  14 Rabi’ul Awwal  1433 H  /  7   Pebruari  2012.
KH.BACHTIAR  AHMAD

Sekapur Sirih

Bagi yang berminat dengan tulisan yang ada, silahkan dicopy agar dapat berbagi dengan yang lain sebagai salah satu upaya kita untuk menunaikan “amar ma’ruf nahi munkar” yang diperintahkan Allah SWT.